“Saat gempa terjadi, saya mengira mereka ada di kafe, karena biasanya di sana membantu mertua. Tapi saat saya tiba di kampung, ipar memberi tahu kalau keduanya pulang dulu untuk mematikan listrik. Sedangkan anak sulung saya bersama neneknya di kafe karena mau ke Cipanas untuk berobat,” kata dia.
Mendengar istri dan anaknya sempat pulang, dia pun pupus harapan. Sebab dia melihat betapa horornya tanah longsoran yang menyapu Kampung Cugenang. Tapi, dia tetap berupaya membantu warga lain yang masih terjebak reruntuhan akibat tertimpa longsor.
“Apalagi rumah saya ada di paling ujung. Jalan ke sana saja sudah tidak ada. Saya hanya bisa membantu warga lain, keluarga saya yang lain yang masih bisa diselamatkan,” kata dia.
Baca Juga:Jelang Setahun Gempa Cianjur, Warga Cugenang Gelar Doa BersamaPeneliti Vulkanologi Kunjungi Zona Merah Gempa
Sebelum kejadian, sekitar pukul 09.00 WIB Sandi masih sempat bertemu dengan anak dan istri. Kebetulan Pemdes Cijedil tengah menyuluhan penanaman cabai di Kampung Cugenang.
“Sebelumnya sempat bertemu dikegiatan penyuluhan. Setelahnya baru bertolak kembali ke kantor meneruskan pekerjaan,” kata dia.
Dia baru menyadari, pagi hari sebelum dia berangkat kerja, istrinya tak mencium tangannya seperti biasa. Anak bungsu pun selalu memanggilnya saat akan pergi.
Tak hanya itu, dia sampai harus bolak-balik dua kali ke rumah karena beberapa barangnya tertinggal. Pertama kunci motor dan kedua name tag.
“Tiap saya mau pergi anak bungsu selalu memegang kaki. Istri yang membawakan barang yang tertinggal pun langsung masuk lagi kedalam rumah. Seperti tak mau saya pergi,” jelasnya.
***
Titik Balik Kehidupan Sandi
Di atas segala kesedihan yang Sandi rasa, dia merasa Tuhan masih sedikit meberikan cahaya padanya. Anak sulungnya M Rifki Ardariza (9) selamat dari keganasan bencana saat itu. Kebetulan itu, dianggapnya sebagai bentuk kepercayaan Tuhan untuk tetap bisa membesarkan salah satu anaknya.
Sepeninggalan istri dan anak bungsunya, pikirannya berantakan. Depresi menyerang Sandi, pikirannya jadi pendek. Terbersit di benaknya untuk mengakhiri hidupnya.
Baca Juga:PMI Asal Cijati Meninggal di Kamboja, Keluarga Lapor PolisiPanji Sakti Hipnotis Ratusan Pecinta Musik Cianjur
“Selama tiga bulan setelah tragedi itu saya depresi. Pernah satu waktu saya sedang diperjalanan ke huntara. Tiba-tiba saya ingin mengakhiri hidup saya dengan menabrakan diri ke bis yang melaju berlawanan. Mata saya sudah gelap. Tapi sepersekian detik kemudia, saya ingat pada anak sulung saya. Kalau saya tidak ada, bagaimana dengan dia?” kata Sandi.