Siapa tahu si ”lima i” lagi ada di resto –ternyata lagi bertugas di rumah sakit miliknyi sendiri.
Saya juga ke rumah Ahong. Yakni putri Akidi Tio, yang menjanjikan menyumbang Rp 2 T ke Kapolda Sumsel –dari warisan orang tuanyi.
Kami mengetuk-ketuk pintu pagar rumahnyi. Tak ada tanda-tanda kehidupan di situ. Kami tidak mau mendobraknya. Ini memang kunjungan spontan. Yang penting saya tahu sendiri rumah di jalan kampong itu.
Baca Juga:Pemkot Bandung Siapkan 226 Isoter Antisipasi Lonjakan Covid-19Doa Wadas
Saya bisa tahu bahwa rumah Ahong memang sesuai dengan yang digambarkan wartawan Sumeks yang diberikan ke saya waktu menulis sumbangan 2T itu.
Ternyata akurat: rumahnya ya seperti itu. Hanya sedikit lebih bagus dari yang saya bayangkan. Mengapa sejak awal saya meragukan sumbangan 2T itu?
Saya tahu tradisi Tionghoa: urusan warisan bukan ditentukan oleh anak wanita seperti Ahong. Apalagi Akidi Tio punya anak sulung laki-laki (lao da, baca: lao ta). Mestinya, lao da itulah yang lebih tahu soal waris.
Si lao da tinggal di Jakarta. Ia punya putri yang ngetop: mejeng di dalam pesawat pribadi dengan jam tangan RM jenis yang sangat mahal. Foto itu pernah viral di medsos.
Tapi ya sudah. Saya tidak tahu seberapa baik hubungan antara lao da dan si Ahong. Atau seberapa buruk.
Saya tinggalkan rumah Ahong.
Tinggal satu lagi yang masih bisa dikunjungi di hari Imlek seperti malam itu: Kelenteng. Saya pilih yang terdekat: Kelenteng marga Chu.
Inilah uniknya Palembang: semua marga Tionghoa punya kelentengnya sendiri-sendiri. Tidak ada daerah lain yang seperti itu. Umumnya kelenteng adalah oikumene: untuk siapa saja. Maka di Palembang sampai ada 76 kelenteng!
Baca Juga:DPRD Cianjur Gelar Rapat Paripurna Usulan Penggantian Wakil KetuaCianjur Selatan Diusulkan Jadi Calon Kabupaten Baru ke DPRD Jabar, Begini Tanggapan PMCK
Mengapa di Palembang begitu banyak Tionghoa marga Chu? Tidak ada yang bisa menjawab. Marga Chu ini minoritas di banyak tempat. Harus ada penelitian untuk itu.
Apakah itu ada hubungannya dengan kedatangan orang Tionghoa ke Palembang yang jauh sebelum ada
Indonesia. Bahkan sebelum ada nama Palembang.
Di gerbang kelenteng itu tertulis: 巨港 (ju gang, baca: ji kang). 巨 berarti “sangat besar”. 港y berarti “Pelabuhan”. Itulah nama Palembang di peta lama Tiongkok: Pelabuhan Sangat Besar.