Tanpa Asap

1000 Tahun
ilustrasi disway.(net)
0 Komentar

KEBUTUHAN yang mati kini sama mendesaknya dengan kebutuhan yang hidup. Mulai dari tempat penyimpanan mayat, peti mati, sampai pemakaman.

Sampai orang seperti Andreas Sufiandi nekat membangun tempat pembakaran mayat secara afdruk kilat. Seminggu selesai.

Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Jawa Timur ikut mengurus peti mati dan oksigen.

Baca Juga:AMS Cianjur Salurkan Bantuan Sembako Bagi Warga Terdampak Covid-19Rights Issue Bernilai Besar, BRI Optimis Dapat Terserap Optimal

Rumah kematian Adi Jasa Surabaya sampai memerlukan bantuan dua truk cold storage –biasanya untuk angkut ikan dari Papua– untuk menyimpan kelebihan mayat.

Yang paling “Bonek” ya Andreas tadi. Hatinya tersentuh ketika tahu begitu banyak mayat yang antre untuk dikremasi. Lebih tergetar lagi ketika melihat mayat dijadikan lahan bisnis.

Ia langsung berpikir cepat: mengalihkan mesin pembakar mayat yang baru selesai ia dirakit. Untuk dipindah ke Jakarta mengatasi krisis mayat di Jakarta.

Mesin itu awalnya untuk Pekanbaru, Riau. Untuk perluasan krematorium di sana. Pekanbaru memang sudah punya dua mesin pembakar mayat. Kalau mesin yang ketiga dialihkan untuk Jakarta akan bisa ikut mengatasi krisis.

Andreas lahir di Padang. Sampai lulus SMP (Santa Maria) masih di Padang. Lalu masuk STM di Jakarta. Jadi orang sukses.

Masyarakat Tionghoa Padang masih menganggap ia orang Padang. Maka Andreas diminta menjadi ketua perkumpulan Tionghoa di sana: Ho Tek Tong.

Nama Ho Tek Tong saya kenal dengan baik. Begitu juga Andreas. Ia juga menjadi ketua perkumpulan barongsai Ho Tek Tong. Pernah ikut kejuaraan dunia: Ho Tek Tong juara dunia. Mengalahkan Barongsai dari Tiongkok, Malaysia, Hongkong, dan Taiwan. Baru lima tahun kemudian giliran Barongsai dari Tarakan yang juara dunia.

Baca Juga:Pria Lansia di Cianjur Ditemukan Meninggal Dunia di Sebuah GangHeboh, Dua Ekor Monyet Berkeliaran di Kantor Kecamatan Cianjur

Di Padang, Andreas berhasil membangun rumah krematorium baru. Sekaligus dua mesin. Lima tahun yang lalu.

Itu untuk menggantikan sistem kremasi yang lama. Yang asapnya tebal. Yang baunya menyengat. Yang satu hari hanya bisa membakar satu mayat –karena pembakarannya lama dan perlu masa pendinginan.

Andreas lantas diminta masyarakat Tionghoa Pekanbaru untuk hal yang sama. Ia memang punya usaha di Pekanbaru. Andreas pun membangun krematorium di Pekanbaru. Sekaligus dua mesin. Bahkan akan tambah satu lagi –yang akhirnya dipasang di Jakarta itu.

0 Komentar