Di Jakarta sebenarnya sudah ada 21 mesin krematorium –di 8 lokasi. Termasuk di Tangerang. Termasuk dua buah milik umat Hindu.
Tapi jumlah mayat jauh melebihi kapasitas. Hukum kapitalisme berlaku: siapa mau mahal bisa dilayani lebih cepat. Yang kaya bisa menyalip antrean.
Itu terjadi di mana-mana. Baru ada satu Andreas yang memecahkannya.
Untuk sistem pemakaman ternyata lebih sederhana. Tinggal cari lahan. Tapi muncul juga hukum permintaan dan penawaran. Dalam bentuk pungli seperti yang terjadi di Bandung itu.
Baca Juga:AMS Cianjur Salurkan Bantuan Sembako Bagi Warga Terdampak Covid-19Rights Issue Bernilai Besar, BRI Optimis Dapat Terserap Optimal
Pemakamannya memang sederhana. Tapi praktiknya juga tidak sederhana. Sebelum dimakamkan mayat harus dimasukkan peti mati.
Mulailah kapitalisme naik pentas. Harga peti mati ikut hukum pasar. Itu pun barangnya belum tentu ada.
Itu yang membuat Ketua Kagama Jatim Arif Afandi, berunding dengan anggotanya: menyumbang 50 peti mati. Akan ada tahap berikutnya lagi.
“Kami tidak beli. Bikin sendiri. Tinggal beli kayu dan ongkos tukang. Kebetulan ada pabrik mebel yang tutup,” kata Arif yang mantan Wakil Wali Kota Surabaya dan Pemred Jawa Pos yang kini menjadi redaktur tamu Harian Disway.
Untuk mengatasi mahalnya peti mati itu, Adi Jasa beruntung. Sumbangan dua truk cold storage bisa dipakai menyimpan 18 mayat. Sambil menunggu peti dan giliran dikremasi.
Adi Jasa sendiri sebenarnya sudah lama ingin membangun krematorium. Belum mendapat izin. “Kami akan mengajukan izin lagi,” kata Anis Rungkat, salah seorang wakil ketua Adi Jasa.
Belum pernah kita memikirkan orang mati seserius sekarang ini. (*)