SAYA sudah sahur kemarin malam, tapi baru buka puasa nanti sore. Makan sahurnya tetap –istri sudah telanjur masak– tapi tidak jadi puasa: mundur, ikut pemerintah.
Heboh kapan mulai berpuasa memang kembali ramai –meski tidak seheboh kalau yang berbeda Lebarannya. Lumayan bisa sedikit melupakan kenaikan harga BBM.
Perbedaan hari Lebaran itu berat karena ada unsur ayat yang berbunyi: haram berpuasa di hari Lebaran.
Baca Juga:Pusdai Dipenuhi Jemaah Tarawih, Ridwan Kamil TerharuFrets Butuan Bangga Jadi Bagian Membawa Persib Kembali ke Kompetisi Asia
Kalau sebagian sudah Lebaran, yang masih berpuasa bisa merasa dituduh berbuat haram. Tapi Indonesia punya caranya sendiri: hari itu sudah tidak berpuasa tapi Lebarannya ikut keesokan harinya.
Meski berbeda dalam memulai puasa, tahun ini perbedaan itu sudah lebih “ilmiah”. Sudah tidak lagi soal pakai melihat bulan atau pakai hitungan astronomi. Soal “sudah bisa melihat bulan” atau “belum bisa melihat bulan” tidak lagi penting.
Perdebatannya sudah menyangkut 2 derajat dan 3 derajat.
Semua sudah sepakat menggunakan perhitungan astronomi. Semua sudah sepakat: kemarin itu bulan memang sudah terbit.
Hanya saja masih terlalu rendah. Baru 2 derajat. Secara mata, terbit 2 derajat belum bisa dilihat. Tapi secara ilmiah, meski baru 2 derajat bulan sudah terbit.
Perbedaannya tinggal mana yang dipegang: sudah terbit atau sudah bisa dilihat.
Saya ikut orang yang lebih pintar dari saya saja –apalagi kalau yang lebih pintar itu memulai puasanya belakangan.
Tapi sebenarnya saya punya pendapat sendiri: perlunya otonomi daerah dalam menentukan dimulainya puasa. Puasa ditentukan secara lokalitas. Demikian juga Lebaran. Jatuh pada tanggal berapanya ditentukan tidak secara nasional.
Baca Juga:Kemenkes Perluas Layanan Mobile X-ray Pemeriksaan TB ke 7 ProvinsiDiskoperdagin Cianjur Sebut Stok Daging Ayam dan Sapi Aman, Tohari: Cuma harga yang agak sulit dikendalikan
Kita sudah biasa menerima perbedaan berdasar lokalitas itu: waktu azan Magrib di Surabaya berbeda dengan di Jakarta. Apalagi di Makassar, Ambon, dan Jayapura. Atau di Palembang, Padang, Medan, dan Aceh. Demikian pula azan subuh dan waktu salat lainnya.
Kita tidak pernah heboh kenapa azan Magrib di Makassar berbeda dengan di Jakarta. Mungkin kita justru heboh kalau waktu azannya disamakan.
Sudah merupakan kenyataan bahwa wilayah Indonesia ini memanjang ke timur. Saya membuka Google kemarin. Azan Magrib di Jayapura pukul 15.43 WIB. Azan Magrib di Sabang pukul 18.48.