Padahal di zaman Inggris berkuasa, hukuman yang menyengsarakan rakyat dihapus. Termasuk adat bronjong itu. Kebun Raya Bogor dibangun. Dengan banyak tanaman dikirim dari Jogja. Tidak banyak pajak dikenakan.
Dari novel ini saya baru menyadari: masa hamil tua sebelum perang Diponegoro pecah ternyata begitu rumitnya. Ada masalah takhta. Ada masalah wanita. Ada masalah harta. Ada masalah agama. Ada masalah premanisme. Ada masalah nasionalisme.
Campur aduk.
Semua diramu ke dalam novel Dasamuka yang mengalahkan pertandingan sepak bola Eropa sekali pun.
Baca Juga:Bandung Barat Gandeng Le Minerale di HUT Ke-14Cianjur Menjadi Percontohan Ruang Isolasi Desa Pasien Covid
Tentu Dasamuka adalah sebuah novel. Bukan buku sejarah. Tapi bahwa sastrawan Junaedi Setiyono memilih setting waktu ”hamil tuanya” Perang Diponegoro sungguh pekerjaan yang besar.
Dua minggu lalu saya membaca novel Junaedi Menghadang Pusaran. Dengan setting waktu Indonesia tahun 1.100-1.200. Zaman Jenggala dan Kediri. Yang juga istimewa.
Memang Baladewa belum bisa disejajarkan dengan Bumi Manusia-nya Pramudya Ananta Tour. Yang menggambarkan setting waktu Indonesia di akhir 1800-an dan awal 1900-an. Tapi munculnya karya sastra seperti Baladewa adalah babak baru novel Indonesia setelah Bumi Manusia.
Betapa kuat riset yang dilakukan sastrawan Purworejo, Jateng ini. Betapa jeli pandangan dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo ini.
Tidak salah Lian Gouw, sastrawan asal Bandung yang 50 tahun tinggal di California, menerjemahkan novel ini ke dalam bahasa Inggris. Dan menerbitkannya di Amerika lewat Dalang Publishing.
Mungkin Inggris juga berkhianat: tidak jadi memasok persenjataan ke kubu Diponegoro. Tapi watak orang Jawa yang menyebabkan kalah di segala bidang tecermin jelas di novel ini. (*)