ISTRI polisi itu mengadu-aduk emosi dan perasaan siapa saja. Begitu naik podium, dia tidak bisa langsung berbicara. Suaminyi, Jason Rivera, yang baru tiga bulan lalu mengawininyi, ada di peti mati di depannyi.
“Kini saya memang punya ribuan saudara dan saudari baru, anggota polisi, tapi tanpa Jason jiwa saya sunyi,” kata Ny Jason, Dominique Luzuriaga.
Wajahnyi terus menunduk. Telapak tangannyi terus ditepuk-tepukkan secara lirih dengan irama sangat cepat ke podium. Dia seperti sulit untuk memulai bicara.
Baca Juga:Ribuan Mahasiswa Baru Unjani Lakukan Pendidikan dan Kedisiplinan di Pusdik ArmedHadapi Lonjakan Kasus Covid-19 Varian Omicron, Ini yang Dilakukan Pemerintah
Terus saja telapak tangannyi ditepukkan ke podium. Berkali-kali. Lebih 20 sentuhan. Belum juga mulai bicara. Dia terisak.
Dominique kian sulit bicara. Maskernyi pun agak melorot. Dia raih masker itu. Dia renggut dari mulutnyi.
Dia lepas pula kacamatanyi —yang kelihatannya mulai berembun air mata. Seorang wanita mendekat. Mengambil masker dan kacamata itu. Juga menguatkannyi.
Tatapan wajahnyi masih terus ke kertas naskah yang akan dia baca. Dia usap-usap kertas itu, seperti ingin memperjelas huruf-hurufnya yang terasa kabur oleh linangan di kornea.
“Saya ingin mengucapkan selamat pagi kepada Anda semua,” katanyi lirih. “Tapi inilah pagi yang paling buruk.”
Jason Rivera, seorang polisi berpangkat sersan satu New York, tewas ditembak residivis Jumat petang sebelumnya. Yakni ketika Jason dan dua teman tugasnya memenuhi panggilan telepon seorang ibu yang merasa terancam oleh ulah anaknyi.
Sang ibu melapor: si anak tidak punya senjata api. Tapi begitu Jason tiba di depan pintu, si anak membuka pintu dan langsung menembakkan senjata Glock 45 (Disway 27/1/2022: Sesal Ibu).
Baca Juga:Presiden Persebaya: Klub yang Bagus Lakukan Pembinaan ”Dipenalti” TimnasLaka di Jalan Raya Cugenang Cianjur, Mobil Pick Up Rusak, Sopir Luka Ringan
Jumat pagi berikutnya jenazah Jason disemayamkan di gereja terkenal di New York: St Patrick. Upacara pemberangkatan ke makam dilakukan di Katedral yang dibangun tahun 1878 itu.
Sang istri memberikan pidato perpisahan.
“Kami berdua sebenarnya sudah merencanakan akan ke gereja ini untuk beribadah akhir tahun nanti. Mimpi buruk ini begitu nyata,” katanyi.
Setelah emosinyi agak reda, Dominique melanjutkan bicara. Di hari penembakan itu, katanyi, dia merasa sangat bersalah. Dia bertengkar hebat dengan sang suami.