Menurut perhitungan saya, pilot itu naik ke anjungan sekitar pukul 4 pagi. Udara dingin –terbawa oleh musim dingin di belahan utara. Dua jam kemudian kapal memasuki bagian paling sempit di kanal sepanjang hampir 200 Km itu. Terjadilah badai. Tiba-tiba. Badai itu menerbangkan pasir. Sebelah kanan kanal ini Gurun Sinai yang berpasir. Sebelah kirinya dusun-dusun kecil. Itulah gambaran bagian selatan kanal ini.
Saat itulah kecepatan kapal ditambah. Tapi pandangan ke depan tertutup badai pasir.
Maka terjadilah drama enam hari itu. Kapal yang panjangnya 400 meter itu melintang diagonal di kanal selebar 200 meter. Tidak ada lagi kapal lain yang bisa lewat. Bagian depan kapal itu menghunjam pinggiran timur kanal. Bagian belakangnya menempel di pinggir barat: di pinggir sebuah desa miskin yang berpenduduk 5.000 jiwa. Kapal itu pun seperti terdampar di halaman rumah penduduk desa itu. Dan kalau malam memancarkan cahaya gemerlapan yang indahnya tak terpermanai –bagi penduduk desa.
Baca Juga:Jangan Pilih-Pilih VaksinLawan Hoaks, Kemenkominfo Gencarkan Gerakan Literasi Digital
Mulai Senin lalu desa itu kembali sepi. Kalau malam kembali gelap. Mereka tetap bisa melihat lalu-lalang kapal di Terusan Suez tapi di kejauhan sana. (*)