“Sosialisasi saya pikir kurang, mungkin sosialisasi ada, tetapi tidak pernah membuat juklak juknis yang jelas terhadap aturan- aturan mau Perbub mau Perda dengan Pilkades. Sehingga terjadi masalah ini. Kami sudah mengingatkan beberapa kali,” ungkap Isnaeni.
Isnaeni mencontohkan, contoh kongkrit di satu daerah, di satu panitia desa selalu menafsirkan misal tentang administrasi tentang ke organisasian. Di sini multi tafsir, pengorganisasian apa mereka tidak tahu. Bisa saja nanti keorganisasian yang dari parpol dari apa itu tidak boleh.
“Nah sekarang ada unsur-unsur yang lain juga, ini kan menjadi persoalan. Seharusnya pemerintah daerah itu memberikan aturan-aturan rambu-rambunya. Jadi tidak ada lagi multi tafsir yang diterapkan oleh panitia tingkat desa, karena sangat rawan ketika proses penetapan kepala desa di situ. Di situ bisa bermain, nah itu yang jadi masalah,” tutupnya. (dik/sri)