Hari kedua pun saya masih menahan diri. Saya lihat mulai ada perbaikan. Belum semua. Saya pun membayangkan betapa sibuknya tim Disway melakukan coding.
Sampai hari ini saya belum menghubungi mereka. Saya lihat perbaikan terus dilakukan. Saya percaya mereka tahu apa yang harus diperbaiki.
Misalnya yang terlihat sejak tiga hari lalu. Tulisan saya ini tidak lagi ditampilkan secara eceran. Berarti mereka memperhatikan keluhan pembaca.
Baca Juga:Momentum HUT ke-170 Tahun, Kebun Raya Cibodas Tingkatkan Kolaborasi Riset, Ini Topik Webinar dan LinknyaJabar Pilot Project Sejuta Putri Brilian
Bukan sekadar mengeluh. Ada yang sampai mengirim komentar langsung ke HP saya. “Sulit kirim komentar. Saya kirim ke sini saja,” tulis Dipa, si wanita Disway itu. Dia pun kirim foto: antrean jeriken.
Sebagian memang salah saya: saya lupa bahwa duluuu mereka pernah memberi tahu tentang jadwal migrasi itu. “Bulan April tahun 2022,” kata mereka.
Itu dikatakan akhir tahun lalu. Ternyata benar-benar mereka lakukan. Tanggal 1 April tulisan saya ditransmigrasikan ke “Lampung” –daerah transmigrasi terbesar di Indonesia.
Disway bukan yang pertama dimigrasikan. Termasuk yang belakangan. Sebelum itu sudah banyak yang dimigrasikan ke rumah baru kita ini. Mereka adalah media-media dari berbagai kota di Sumatra dan Jawa.
Mereka itu dulunya berdiri sendiri-sendiri. Kini bergabung di markas besar baru kita ini.
Ke depan masih banyak lagi yang akan bermigrasi ke sini. Dari Sulawesi. Dari Kalimantan. Dari Bali. NTB. NTT. Juga dari Tobelo. Mungkin jumlahnya sampai 200 –sampai Juli nanti. Lalu menjadi 500 di tahap berikutnya. Lalu entah menjadi berapa lagi di akhir tahun –masih rahasia.
Saya –yang sudah 71 tahun– kadang tidak mengerti isi pembicaraan anak-anak muda itu. Sering saya hanya jadi pendengar yang pura-pura mengerti.
Baca Juga:BRI Peduli Beri Beasiswa S2 Pada 36 Jurnalis BRI Fellowship Journalism 2021‘Perahu Kemanusiaan’ Ridwan Kamil Beroperasi, Murid SD di Kabupaten Sukabumi Akhirnya Sekolah Tepat Waktu
Maka saya seolah saya tahu bahwa mereka lagi amat sibuk. Mereka sedang berkomitmen untuk membesarkan Disway ini. Bukan dengan cara saya –tapi dengan cara anak muda.
Melihat perubahan ini saya pun seperti Anda. Saya lagi bertanya-tanya: Disway ini sedang menuju ke mana. Ke restoran? Ke kuburan?
“Kami tidak mau menuju kuburan,” kata mereka. Ya, sudah. Saya ikut saja.
Bagi saya, memercayai anak-anak muda sudah lama menjadi bagian dari napas sehari-hari. Bukan tanpa risiko. Sering. Bahkan, risikonya tak tertahankan –tapi biarlah saya sendiri yang tahu.