Orang di luar IDI –atau di luar anggota organisasi profesi apa pun– tidak boleh mengenakan ukuran sopan santun kepada mereka. Sopan menurut A belum tentu santun untuk B.
Karena itu, kode etik harus lahir dari kesadaran orang yang berprofesi. Lalu, merumuskan kesadaran tersebut secara tertulis: menjadi kode etik. Untuk ditaati semua anggotanya.
Kenapa seseorang yang berprofesi perlu punya kesadaran beretika? Kenapa tidak cukup hanya taat pada hukum dan peraturan?
Baca Juga:Ridwan Kamil: Inovasi Toilet Daur Ulang Jadi Solusi Kurangi Pencemaran Sungai CitarumRidwan Kamil Sambut Baik Kolaborasi Jabar-Banyuwangi-Gorontalo
Karena ini: seseorang yang berprofesi adalah orang yang punya otonomi pribadi untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan. Ia harus melakukannya biarpun dilarang oleh siapa pun –termasuk atasan. Sebaliknya, ia tidak mau melakukan tindakan itu biarpun diperintah atau dipaksa.
Orang yang mempunyai otonomi seperti itu cenderung ”maunya sendiri” –dan itu terbentuk dalam jiwa dan bawah sadar mereka. Kode etik adalah ”pagar diri”. Orang yang mengutamakan profesi akan menempatkan kode etik di atas UU dan peraturan.
Maka, IDI sebaiknya membuka saja: etika mana yang dilanggar Terawan. Kita yang di luar IDI tidak boleh ikut-ikutan. Kita sudah terlalu jauh: sampai ada yang mengaitkan IDI dengan MUI, kadrun, dan sebangsanya –menjadi isu politik, ideologi, bahkan SARA. Kita hanya akan menilai dalam hati: IDI fair atau tidak.
Tanpa penjelasan itu, kita tidak tahu: kode etik mana yang dilanggar berat oleh Terawan. Terkait praktik cuci otak? Atau Naksin Nusantara? Atau dua-duanya?
Dalam dua hal itu, Terawan bukanlah penemu ilmunya. Soal cuci otak, Terawan belajar ilmu itu secara khusus di California, Amerika Serikat. Yakni, kepada seorang profesor yang menemukan metode cuci otak di sana. Lalu, ia bawa ke Indonesia.
Awalnya, ketika ada seorang menteri menderita stroke, Terawan belum berani menangani sendiri. Ia ajak sang menteri ke California. Ditangani profesornya di sana. Di periode Presiden SBY berikutnya, ia jadi menteri lagi: Sudi Silalahi.
Terawan belajar lagi ilmu lain: cell cure. Di Jerman. Ke seorang profesor Jerman. Di sana cell cure dipraktikkan –semacam stem cell. Ilmu itu ia bawa pulang. Ia praktikkan di Jakarta: cell cure.