Presiden Rusia –sebelum Putin– Boris Yeltsin menggempur Chechnya habis-habisan. Tidak boleh merdeka. Perlawanan dari Chechnya juga habis-habisan. Ini dianggap perang Islam lawan komunis.
Setelah itu terjadi keretakan. Golongan Wahabi dianggap semakin mendominasi Chechnya. Budaya Chechnya yang Sunni terasa kian tersisih.
Maka Akhmad memutuskan untuk berbalik arah: memihak Rusia. Saat itu di pusat Rusia sudah berubah: Yeltsin sudah diganti Putin.
Baca Juga:Hadirkan Terobosan Pembiayaan Rumah, BRI Raih Dua Penghargaan SekaligusSurvei IPO: Tingkat Kesukaan Publik pada Zulkifli Hasan Ungguli Prabowo Subianto
Maka pertempuran Chechnya yang kedua (1999) hanya berlangsung singkat: tahun 2000 Rusia menguasai sepenuhnya Chechnya. Lalu memberikan otonomi khusus yang sangat luas. Termasuk dalam hal agama.
Kadyrov selalu terpilih kembali sebagai ketua Chechnya. Ia pernah berniat mundur. Tapi didaulat maju lagi untuk periode ketiga: menang 87 persen. Kelihatannya Kadyrov akan seumur hidup memimpin Chechnya. Sambil menunggu anaknya –barangkali.
Kadyrov tidak hanya geram dalam hal Ukraina. Ia juga pernah minta izin ke Putin: untuk menggempur ISIS di Syria. “Dalam beberapa minggu ISIS akan habis,” katanya menjamin.
Kadyrov kini baru berumur 45 tahun. Ia mencita-citakan Chechnya jadi negara Islam moderat dan modern.
Ia menyerukan mereka yang dulu lari ke Eropa untuk pulang membangun negeri. “Chechnya sekarang ini paling tenang dan aman di dunia,” katanya.
Keberhasilan Kadyrov memimpin perang di dalam negeri itu mendapat penghargaan militer dari pusat: mayor jenderal.
Rusia kini seperti manusia jagoan yang sempurna: punya dua mata. Putin di Utara dan Kadyrov di Selatan. (Dahlan Iskan)