Apalagi di wilayah yang banyak ditinggalkan imigran generasi pertama. Misalnya, di Buffalo, di utara New York. Dekat air terjun Niagara. Di situ ada dua yang sudah berubah menjadi masjid. Lalu, satu lagi menjadi wihara Buddha.
Imigran yang datang ke wilayah itu umumnya dari Norwegia dan sekitarnya. Itu tahun 1800-an. Mereka membangun perkampungan sekaligus rumah ibadah.
Sejak 1970-an kian banyak yang meninggalkan Buffalo. Keturunan imigran itu pindah ke daerah yang ekonominya lebih berkembang.
Baca Juga:Sepekan Lagi Warga Ciandam Mande Nikmati Jalan BetonJaga Ekonomi Indonesia, BRI Bangkitkan Pelaku UMKM
Harga properti di situ pun turun. Imigran dari Asia datang. Dengan berbagai agama mereka.
Mengalir pula ke daerah itu penduduk kulit hitam dari wilayah selatan. Yang punya gereja sendiri –atau pilih tidak ke gereja yang sudah ada.
Di Amerika kelembagaan pemilik aset gereja juga sangat privat. Amerika sangat melindungi wilayah privat. Termasuk pun kalau pemilik gereja itu mau menjualnya.
Tentu banyak juga yang karena orang modern di Amerika tidak rajin lagi ke gereja.
Kekhawatiran menjadi seperti itulah sebagian sinode di Indonesia mulai mengurus kepemilikan aset gereja menjadi aset sinode. Agar tidak lagi menjadi aset pribadi.
Di lingkungan NU, aset lembaga pendidikan juga banyak dimiliki pribadi kiai NU. Bukan dimiliki NU. Tapi, sulit membayangkan ada kiai NU yang menjual aset untuk mal atau gereja.
Sedangkan di lingkungan Muhammadiyah, semua aset lembaga pendidikan dan rumah sakit resmi milik organisasi Muhammadiyah.
Baca Juga:PPKM Darurat, PMI Cianjur Lakukan Penyemprotan Disinfektan, Ini SasarannyaPPKM Darurat, Begini Penampakan Pasar Cipanas Cianjur
Meski banyak gereja yang dijual di Amerika, banyak juga gereja baru. Yang arsitekturnya juga baru. Tidak sama lagi dengan gereja zaman dulu. Lihatlah foto arsitektur gereja modern itu. Lalu, bandingkan dengan masjid baru di Los Angeles yang asalnya gereja.
Zaman berubah. Pun di arsitektur tempat ibadah: masjid maupun gereja. (*)