Baterai memang akan menjadi penentu energi. Sebentar lagi.
Itulah yang sudah diantisipasi oleh pemerintah. Dengan mendirikan Industri Baterai Corporation (IBC). Yang pemegang sahamnya 4 BUMN: Pertamina, PLN, Antam, dan Mind d/h Inalum.
Di seminar kemarin, saya mengusulkan agar pemegang sahamnya salah satu saja: PLN atau Pertamina. Saya membayangkan betapa sulitnya direksi IBC itu nanti. Punya bos empat orang. Sulit dalam pengertian panjangnya proses minta persetujuan. Bisa-bisa energi terbesar direksi habis untuk mengurus birokrasinya.
Padahal industri baterai harus dinamis. Teknologi baterai terus berubah. Pemilihan teknologinya harus sangat peka. Jangan sampai ketika sebuah pemikiran diproses untuk menjadi keputusan waktunya begitu panjang –saking panjangnya keputusan itu tidak relevan lagi dengan keadaan.
Baca Juga:Tabrak Gerobak Batagor, Pelaku Begal di Cianjur Ditangkap WargaPTM Ditarget Juli, Disdikbud Cianjur Genjot Vaksinasi Guru
Dr. Agus Tjahjana W, komisaris utama IBC tampil sebagai salah satu pembicara. Dari uraiannya kita bisa tahu betapa rumit merealisasikan industri baterai ini –meski kita ini negara lumbung nikel.
“Kami harus mencari lima atau enam partner investasi,” ujar Dr Agus. Saya kenal lama dengan Dr Agus. Beliau menjadi dirjen di Kemenperin ketika saya di Jakarta. Dr Agus inilah yang berjasa besar menegosiasikan PT Inalum –berhasil pindah status dari perusahaan Jepang menjadi 100 persen BUMN.
Agar bahan tambang nikel itu menjadi katoda-baterai harus melalui lima proses pengolahan. Tiap proses memerlukan satu pabrik yang terpisah. Tidak bisa dilakukan dalam satu line produksi.
“Mereka, calon partner itu, selalu menanyakan emangnya berapa besar pasar baterai di Indonesia,” ujar Agus.
Maka sebaiknya, dua pasar besar baterai harus didorong: mobil listrik dan powerbank untuk rumah tangga.
Itu sudah sepenuhnya menyangkut kebijakan energi nasional. Tidak boleh hanya dilihat dari capaian green energi. Harus dilihat juga dari kebijakan ekonomi nasional. “Impor BBM kita itu satu tahun mencapai Rp 300 triliun,” ujar Zainal. “Kalau tidak ada perubahan kebijakan bisa-bisa impor BBM kita mencapai 2 persen PDB,” ujar Zainal. Bahkan impor BBM akan bisa mencapai Rp 500 triliun.
Kelak ibu-ibu rumah tangga yang bisa menghentikan impor BBM itu. Yakni kalau kendaraannya sudah listrik, energi rumahnya sudah dari powerbank dan kompor di dapurnya sudah bukan gas atau elpiji lagi. (*)