Kita memang sengaja melawan kecenderungan global. Untuk sementara. Hanya sementara. Untuk apa ikut global kalau kita sendiri jadi korban global itu.
Apalagi limbah batu bara sudah dikoreksi –oleh UU Cipta Kerja. Atau turunannya. Aturan baru itu: limbah batu bara bukan lagi B3.
Kita memang akan dikecam dunia. Tapi kita lawan dengan gagah. Seperti Tiongkok tidak peduli apa kata dunia. Kini justru dunia yang mengagumi Tiongkok.
Bukankah kenyataannya kita telah lama menyediakan paru-paru dunia?
Baca Juga:Usai Salat Idul Fitri di Rumah Dinas, Ridwan Kamil Silaturahmi Virtual dengan Kepala DaerahIdul Fitri 1442 H, 530 Warga Binaan Lapas Cianjur Terima Remisi
Sudah saatnya kita punya neraca lingkungan sendiri. Berapa kita memproduksi oksigen selama ini. Berapa pula kita memproduksi CO2.
Tentu kita tidak akan ngawur. Penggunaan batu bara itu harus ketat. Harus memenuhi syarat lingkungan semaksimal mungkin.
Ketika harga listrik sudah murah kita galakkan industri. Industri apa saja. Kita raih kembali tahap kita sebagai negara industri.
Tanpa menjadi negara industri SDM kita tidak akan terseret cepat ke atas.
Industri yang juga harus kita rangsang adalah ini: kompor listrik untuk rumah tangga.
Dulu rumah tangga kita memakai kayu untuk masak. Merusak lingkungan. Lalu pindah ke kompor minyak tanah: merusak lingkungan –sekaligus merusak APBN.
Kita lantas berhasil mengalihkannya lagi ke elpiji dan gas. Merusak segala-galanya. Gas kita tidak cukup lagi. Elpiji kita begitu juga. Subsidi elpiji tidak terbayangkan menjadi momok baru.
Baca Juga:Presiden Jokowi dan Ibu Negara Salat Idul Fitri di Istana BogorRevolusi Energi (2)
Belum lagi logistiknya. Sangat tidak modern. Semua rumah punya dapur. Semua dapur perlu elpiji. Se Indonesia! Lihatlah keruwetan logistiknya.
Padahal semua rumah sudah ada listriknya! Betapa lucunya! Kok masih pakai elpiji.
Apa yang salah? Apakah Amerika yang salah –dapur rumah tangga mereka menggunakan energi listrik?
Kita benahi. Sejak batu bara sampai dapur rumah tangga. (*)