Waktu saya boleh keluar dari RS Premier Surabaya lalu, D-dimer saya masih 1.130. Masih sangat tinggi dari normalnya, maksimum 500.
Pagi ini saya akan test D-dimer lagi. Saya harus hati-hati. Jangan-jangan naik –meski harapan saya turun.
Sejak keluar dari rumah sakit itu saya terus minum obat Xarelto 15 mg. Satu kali satu hari. Itulah obat mengurai ”cendol”.
Baca Juga:Bubur Ayam dari Cilaku Cianjur Ini Miliki Cita Rasa KhasVaksinasi Covid-19 Bagi Nakes Lansia Dimulai Hari Ini
Kekuatan obat Xarelto itu sama dengan yang saya terima waktu opname. Hanya saja, saat itu, obatnya disuntikkan di kulit perut. Sehari dua kali suntik. Sedang yang ini bentuknya pil.
Obat Xarelto saya itu habis tadi malam. Hasil pengecekan darah pagi ini sangat menentukan. Kalau hasilnya turun tapi belum sampai level 500 saya harus segera membeli lagi. Obat yang sama. Kalau hasilnya sudah baik –sudah di level 500 ke bawah– saya boleh menghentikannya. Bagaimana kalau hasilnya memburuk? Saya bertekad akan masuk rumah sakit lagi. Saya harus mencari jalan agar D-dimer saya itu normal kembali.
Kalau pun D-dimer saya sudah normal, saya harus kembali ke obat lama: Plavix. Itulah obat pengencer darah –bukan obat pengencer ”cendol darah”.
Semua orang yang di jantungnya sudah dipasangi ring harus meminum obat pengencer darah. Seumur hidup. Agar tidak terbentuk cendol di darahnya. Cendol itu bisa menempel di ring. Lalu, teman-temannya gabung di situ. Membuntu saluran darah di jantung.
Biarpun ring di dalam jantung hanya satu tetaplah harus minum obat pengencer darah. Apalagi kalau ringnya dua atau tiga. Ada orang yang jantungnya sampai dipasangi ring 6 buah.
Dan di aorta saya, sekarang ini, terdapat 670 ring. Yakni untuk mengatasi saluran darah utama saya yang pecah tiga tahun lalu. Ring itu begitu banyak karena aorta saya yang pecah itu panjangnya setengah meter. Betapa rawannya cendol darah itu.
Siang nanti saya akan tahu berapa banyak cendol darah akibat Covid-19 di dalam darah saya. Sebuah penantian yang menuntut kepasrahan.(*)