Seno juga memikirkan tim-nya yang begitu besar. Yang semuanya menganggur. Maka ia mengajak tim untuk show di rumahnya saja. Disiarkan secara streaming.
Rumahnya yang di dekat kali itu ada pendapanya. Di situlah gamelan disusun. Layar-kelir dibentang. Bolo Seno –fans club Seno– diberi tahu. Kalau kangen nonton wayang bisa lihat di aplikasi.
“Begitu diumumkan, order untuk show masuk terus. Antre,” ujar Gunawan.
Sampai pun Seno kelelahan. Lima bulan penuh kebanjiran order. Sampai ia meninggal dunia.
Seno adalah dalang turunan. Ayahnya dalang kondang di Jogja: dalang Suparman. Kakeknya juga dalang. Buyutnya pun dalang.
Dan anak Seno, Gading, 13 tahun, pelajar SMP, sangat berbakat mendalang.
Saya juga melihat penampilan Gading di YouTube. Saat ia tampil untuk ulang tahun ke-48 bapaknya.
Saya melihat Seno pada diri Gading. Terutama pikiran liarnya, spontanitasnya, improvisasinya, dan guyonannya.
Sebenarnya Gading belum mau tampil. Pamannyalah yang mengajari Gading satu lakon. Diam-diam. Untuk dipersembahkan di ulang tahun sang ayah.
Pertunjukan itu jadi digelar.
Tapi sang ayah tidak sempat melihatnya. (*)