Maka jamaah haji dari India (waktu itu Pakistan masih di dalam India) begitu menguasai Makkah. Dan Madinah. Dengan filsafat pemikiran yang berbeda dengan yang di Arab. Juga dengan harga diri yang tidak kalah tinggi.
Maka terjadilah benturan pemikiran filsafat keagamaan. Antara Arab dan non-Arab. Satariyah adalah salah satu hasil dari benturan-benturan pemikiran itu.
Gus Amik punya dua anak laki-laki. Yang pertama berkarir di perusahaan besar. Yang kedua baru lulus fakultas hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Kebetulan yang kedua itu pendidikan agamanya Ibtidaiah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
Maka saya ajukan ia menjadi pengganti ayahnya. Saya juga minta agar ia melanjutkan S-2 di India. Agar meraih gelar master di salah satu universitas Islam tertua di dunia: Aligarh University. Tidak jauh dari Taj Mahal, Agra. Kebetulan saya punya teman aktivis muslim di Agra.
“Kenapa tidak di Timur Tengah?” tanyanya.
“Sudah terlalu banyak yang lulusan Timur Tengah,” jawab saya.
Yang tidak saya katakan padanya adalah: agar kiai baru ini pernah merasakan hidup sebagai minoritas. Bahkan minoritas yang lagi tertekan seperti di India saat ini.
Yang juga tidak saya katakan adalah: agar ia mendalami benturan-benturan pemikiran di sana.
Semua peserta rapat pun setuju. Bahkan ada yang usul rapat hari itu langsung memutuskannya. Tapi karena pengangkatan itu perlu legalitas lebih luas disepakati perlu forum yang lebih resmi: 30 Januari depan.
Rapat hari itu sebenarnya sudah memperhatikan protokol kesehatan. Lokasinya di aula besar pesantren. Yang hadir dibatasi hanya 30 orang. Tempat duduknya sangat berjauhan. Semua memakai masker. Tidak ada suguhan minuman. Pun makanan.
Waktu mikrofon disodorkan ke saya disemprot disinfektan lebih dulu. Ketika mik yang sama dipakai yang lain, saya tidak mau lagi bicara pakai mik.
Sebelah kiri saya istri Gus Amik, seorang doktor yang sudah sembuh dari Covid —mestinya sudah negatif. Sebelah kanan saya, Kiai Misbahul Huda, wakil ketua, yang juga putra guru nahwu-shorof saya dulu —grammar dalam bahasa Arab. Mas Huda, cum laude elektro UGM, juga pernah jadi dirut banyak anak perusahaan yang saya pimpin dulu.