“BAPAK sering olahraga ya?” tanya petugas foto paru-paru itu. Sepertinya dia tidak mengenali saya. Saya sudah tidak populer lagi. Atau karena saya pakai masker.
“Kenapa?” tanya saya balik.
“Paru-parunya mengembang sekali,” jawabnya.
“Tiap hari. Olahraga satu jam,” ujar saya —sambil dada rasanya bangga.
Saya memang punya harapan tersembunyi: kalau pun terkena Covid semoga seperti para pemain sepak bola itu. Seperti Mo Salah-nya Liverpool. Atau Cristiano Ronaldo-nya entah siapa punya sekarang.
Tapi umur mereka belum 30 tahun. Sedang saya masuk ke 70 tahun.
Pertimbangan umur itu juga yang membuat saya mau cepat-cepat masuk rumah sakit.
Dan ternyata saya bukan tidak punya masalah. Jantung memang baik. Paru-paru baik. Tekanan darah baik. Tidak ada gula darah. Tidak ada kolesterol. Penyerapan oksigen pun normal.
Tapi ada masalah besar: terjadi pengentalan darah.
Yang kentalnya sampai lima kali dari normal.
Ini bahaya.
Bisa membuat jantung yang baik itu tiba-tiba bermasalah. Bahkan bisa menyumbat ke otak.
Kalau, misalnya, saya ngotot isolasi mandiri di rumah saya tidak akan tahu masalah ini. Padahal saya sudah menyiapkan tempat isolasi itu: di ruang makan. Saya ubah jadi kamar tidur. Meja sudah dipinggirkan. Kursi-kursi dikeluarkan. Kasur sudah dihampar.
Dengan isolasi di situ, ‘wilayah belakang rumah menjadi hak saya. Saya bisa melihat taman dan kolam ikan. Istri dapat wilayah depan. Kang Sahidin mendapat wilayah lantai atas.
Tapi umur saya sudah 70 tahun.
Saya pikir anak-anak lah yang benar: saya bukan Mo Salah atau Ronaldo.
Dengan penemuan yang lima kali lipat itu, di RS Premier ini saya jadi lebih tenang. Tindakan bisa cepat dilakukan.
Lalu saya jadi tahu: istilah darah kental atau mengental itu ternyata sebenarnya kurang tepat. Tidak ada terjemahan yang pas untuk kata Inggris clot. Di kamus, clot diartikan gumpal. Menggumpal.
Tapi kalau dipakai istilah ‘menggumpal, terlalu dramatik. Secara bahasa mungkin benar. Tapi secara kedokteran bisa kurang tepat.
Istilah kental, juga kurang pas.
Lalu apa dong.