Saya langsung tidur. Nyenyak. Sambil diinfus vitamin. Jam 04.00 saya terbangun. Mau kencing. Saya lihat botol infusnya kosong. Saya hubungi perawat. Diganti infus baru dengan isi yang sama.
Saya tidur lagi.
Pagi-pagi suster masuk ruangan. Rutin. Test tekanan darah, oksigen, suhu, dan seterusnya. Hasilnya sama bagus dengan sebelumnya. Bahkan suhu badan saya sudah 36,6. Suster lalu mencopot infus yang sudah kosong.
Tidak ada infusan baru.
Lapar.
Tidak ada pisang. Tidak ada jus jambu merah. Tidak ada dua telur rebus-lunak. Tidak ada pecel. Tidak ada brokoli rebus. Tidak ada sayur. Tidak ada madu.
Eh, madu ada. Saya bawa dari rumah.
Saya rebus air. Untuk minum madu. Tidak kenyang tapi lumayan. Sambil menunggu jatah sarapan dari rumah sakit.
Siang harinya perawat melakukan tes lagi. Hasilnya masih tetap baik. Suhu 36,6; tekanan darah 137/69; detak jantung 71; oksigen 96.
Dokter penyakit dalam minta bicara lewat video: Dokter Purnomo Budi Setiawan. Saya kenal lama. Ia dokter yang menangani sakit lever saya, sejak sebelum transplant. Sekarang sudah doktor.
“Fungsi levernya baik sekali,” ujar beliau. “Obat-obat terkait transplant terus saja diminum,” tambahnya.
Meski video call, saya tidak bisa melihat wajah beliau. Rapat tertutup oleh APD kelas berat. Mungkin beliau juga lagi di rumah sakit. Saya kangen sebenarnya. Sudah lama tidak bertemu. Tapi ya sudah, ada Covid.
Tak lama kemudian ketua tim dokter masuk kamar. Tapi saya lagi video call dengan Singapura dan Tiongkok. Beliau keluar lagi ke kamar lain.
Setelah itu saya tidak mau terima telepon. Agar ketika beliau kembali saya sudah siap.
Saya pun diperiksa di bagian dada dan punggung. Dengan stetoskop. Saya disuruh tarik napas dan melepaskannya. Di 8 titik dada dan 8 titik punggung. Saya tahu itu untuk mendeteksi paru-paru. Yakni organ paling menarik perhatian di pasien Covid-19.
Namanya: dr Hanny Handoko. Laki-laki. Ahli paru dari Unair, Surabaya. Yang pernah memperdalam ilmunya di National University Hospital (NUH) dan Tan Tock Seng Novena. Semuanya di Singapura.