Keputusan itu, menurut Paloh, disepakati ketika Jokowi bertemu pimpinan parpol pendukung saat bertemu di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (30/9).
Paloh menilai jika Presiden dipaksa mengeluarkan perppu, berpotensi dipolitisasi dan dapat dimakzulkan.
Selain itu, Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan bahwa perppu menjadi opsi terakhir penyelesaian perbedaan pendapat.
Dua opsi lainnya untuk mengatasi persoalan UU KPK, yakni dengan legislative review dan judicial review. Bahkan, mantan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menilai belum perlu Perppu KPK.
Masyarakat dapat menggunakan mekanisme konstitusional, salah satunya melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Presiden Jokowi sendiri masih mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu KPK. Ia mengatakan bahwa pihaknya terus menampung aspirasi dan usulan mengenai polemik UU KPK dari seluruh pihak.
“Pertama saya ingin menegaskan kembali komitmen saya kepada kehidupan demokrasi di Indonesia bahwa kebebasan pers, kebebasan menyampaikan pendapat adalah hal dalam demokrasi yang harus terus kita jaga dan pertahankan. Jangan sampai bapak ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini,” kata Jokowi pada hari Kamis (26/9) saat bertemu tokoh bangsa di Istana Kepresidenan RI, Jakarta.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan bahwa posisi pemerintah seperti dihadapkan kepada buah simalakama.
“Karena keputusan itu seperti simalakama, enggak dimakan bawa mati, dimakan ikut mati, ‘kan begitu, cirinya memang begitu. Jadi, memang tidak ada keputusan yang bisa memuaskan semua pihak,” kata Moeldoko.
Mantan Panglima TNI itu menegaskan bahwa Presiden Jokowi tetap berkomitmen menegakkan hukum dan memperkuat pemberantasan korupsi.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Profesor Juanda mengatakan bahwa tidak ada hukum yang menjelaskan jika Presiden menerbitkan perppu lantas dapat dimakzulkan.
Menurut Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945, pemberhentian presiden dalam sistem konstitusi Indonesia dapat dilakukan jika presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, ataupun perbuatan tercela. Selain itu, apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pada Pasal 7B UUD 1945, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.