Maestro Mamaos yang Memprihatinkan

Maestro Mamaos yang Memprihatinkan
MEMAINKAN: Dadan Sukandar atau yang akrab disapa Aki Dadan sang maestro tembang Cianjuran tengah memainkan kecapi kesayangannya. (FOTO: IKBAL SELAMET/CIANJUR EKSPRES)
0 Komentar

“Sering ada yang ke sini, untuk belajar. Makanya Aki mah di sini saja. Ditambah kan kalau di sana juga bisa dilihat sendiri kondisinya. Di sini juga jadi tidak kagok Aki mengajar, supaya Mamaos Cianjuran ini tetap bertahan dan tidak dilupakan,” kata dia.
Aki Dadan menceritakan jika dirinya mulai mengenal kesenian Mamaos Cianjuran sejak usia dini. Pasalnya, orangtua dari Aki dadan, yakni Endu Sulaeman dan Warsah juga merupakan pelestari Cianjuran. Terlebih leluhur dari Aki Dadan sendiri yakni Abdi Dalem Pemerintahan Cianjur di Bidang Seni.
Dia mengaku mulai fokus untuk mendalami Seni Mamaos Cianjuran di usia 17 tahun dan tampil bersama dengan ayahnya di berbagai kegiatan kesenian. Bahkan di usia 18 tahun dirinya seringkali tampil di depan Presiden RI, Ir Soekarno ketika Sang Proklamator tersebut berkunjung ke Istana Kepresidenan Cipanas.
“Dari tahun 1962 sampai 1964, Aki sering tampil di depan Presiden Soekarno. Kalau beliau berkunjung ke Istana Presiden Cipanas, pasti harus ada penampilan Mamaos Cianjuran. Tapi itu berhenti setelah perpindahan kekuasaan ke presiden berikutnya,” kata dia.
Pada sekitar tahun 1970, Aki Dadan pun pergi ke Jakarta untuk mengenalkan Mamaos Cianjuran. Diawali dengan penampilan di sebuah tempat pertunjukan kecil, dia tampil di depan warga asli Jawa Barat yang rindu dengan kesenian daerahnya, terutama yang telah mengenal Cianjuran.
“Yang paling Aki ingat sampai sekarang, Aki tampil di depan Gubernur Jakarta saat itu, yakni Ali Sadikin. Sampai aki diapresiasi untuk terus mengenalkan seni Sunda Cianjuran ini,” kata dia.
Tidak hanya tampil di Ibu Kota, Aki Dadan juga pernah berangkat ke Jepang untuk tampil di sana. “Kalau aki paling sampai Jepang, tapi murid-murid Aki ada yang sudah tampil di Roma di Eropa, dan negara lainnya,” kata dia.
Jenuh dengan Jakarta, dia pun mengaku memilih kembali ke Cianjur sekitar tahun 1990. Dia juga ingin melihat perkembangan Mamaos Cianjuran di tanah kelahirannya. Namun ternyata kesenian tersebut malah meredup.
“Melihat kondisi itu, Aki bertekat untuk terus melestarikan Mamaos Cianjuran di Cianjur sendiri. Pada akhirnya seni tradisional sebenarnya akan punah seiring perkembangan zaman, Aki hanya berupaya untuk menunda kepunahan tersebut,” tuturnya.

0 Komentar