CIANJUR – Pertanian Perkebunan Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur mengimbau petani segera memanen tanaman padi yang sudah berusia 100 hari ke atas. Langkah itu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya gagal panen akibat intensitas sinar matahari terlalu tinggi dan potensi terjadinya penguapan.
“Tapi ini bukan panen dini karena usia tanaman padi sudah layak. Dalam kondisi intensitas penyinaran matahari yang relatif tinggi ini, kalau tanaman padi dibiarkan terlalu lama mengalami standing, maka bulir-bulir padi bisa rontok sehingga memicu losses (kehilangan). Tidak bisa dipanen,” terang Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian Perkebunan Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur, Dandan Hendayana, Senin (5/8).
Secara teknis, lanjut Dandan, range usia tanaman padi menjelang panen di atas 100 hari hingga 105 hari, sudah bisa menghasilkan padi berkualitas. Ia mencontohkan, padi jenis Ciherang, optimalnya dipanen pada usia 112 hari.
“Tapi kurang dari usia 112 hari juga bisa (dipanen) manakala situasi dan kondisinya tidak mendukung seperti sekarang. Kalau menunggu harus 112 hari dengan intensitas matahari tinggi dan suhu penguapan tinggi, dikhawatirkan bulir padi tak bisa dipanen. Potensi kehilangannya pun relatif lebih tinggi,” jelas Dandan.
Di Kabupaten Cianjur lahan sawah yang terancam kekeringan selama Juni-Juli seluas 4.152 hektare dan sudah terdampak seluas 3.737 hektare. Lahan yang sudah terdampak itu rinciannya terdiri dari kekeringan ringan seluas 1.272 hektare, kekeringan sedang 979 hektare, kekeringan berat 889 hektare, dan puso 579 hektare. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya potensi hilangnya produksi tanaman padi sebanyak lebih kurang 11 ribu ton.
Sedangkan pada 2017 selama periode Juni-September seluas 360 hektare terdiri dari kekeringan ringan 277 hektare, kekeringan sedang 44 hektare, kekeringan berat 39 hektare, dan puso nihil. Sementara pada 2018 selama Juni-September seluas 668 hektare terdiri dari kekeringan ringan 606 hektare, kekeringan ringan 47 hektare, kekeringan berat 889 hektare, dan puso nihil.
“Terjadinya luasan lahan yang sudah terdampak kekeringan tentu saja memengaruhi produksi. Hitung-hitungan, dengan ekuivalensi per hektare rata-rata menghasilkan 5 ton, maka potensi kehilangan mencapai hampir 11 ribu ton. Ditambah yang puso mencapai hampir 3 ribu ton atau sekitar 2 persen dari target produksi,” jelas dia.