CIANJUR.JABAREKSPRES.COM – Ombak Pantai Selatan tak pernah tenang. Begitu juga di Pantai Apra yang ada di Desa Seganten, Kecamatan Sindangbarang.
Pasirnya pun memang tak putih seperti Pantai Bira di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Namun, potensi wisata budayanya ternyata masih kental.
Namun, potensi wisata budaya tersebut sepertinya tak dilirik oleh pemerintah. Terbukti sejak didirikan pada 1989, Pantai Apra kondisinya tak jauh beda dengan pantai yang dikelola secara asal. Tak ada yang spesial.
Baca Juga:Puluhan Warga Binaan Lapas Ikuti Penyuluhan HukumMasih Minim Perusahaan Rekrut Penyandang Disabilitas
Pantai Apra yang dekat dengan Muara Sungai Cisadea, terdapat budaya Nyalawean, budaya unik menangkap bayi ikan liar atau yang warga sekitar sebut impun yang hanya diadakan pada waktu tertentu, di tanggal 25 atau salawe alam Bahasa Sunda.
Tari Nyalawean yang kini kerap dijadikan seni penyambut tamu khususnya di pemerintahan, pun berasal dari wilayah Pesisir Selatan.
Lalu, pengolahan bayi ikan liar itu menjadi Jarangking Impun, pangan khas wilayah Pesisir Selatan yang kini langka ditemui.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pantai Apra, Dodo mengatakan, potensi wisata yang ada di bentang Pantai Selatan tak semuanya terkelola dengan baik. Bahkan, potensi wisata budayanya pun tak tergali.
“Dari awal Pantai Apra berjalan sendiri, hanya bekerja sama dengan Kelompok Tani Hutan (KTH) untuk menanam pohon Cemara Udang. Itu dilakukan pada 2021 lalu,” ungkapnya saat ditemui, Rabu (31/7/2024).
Kurang lebih 300 pohon Cemara Udang ditanam untuk membuat sekitar lokasi wisata Pantai Apra bisa teduh dan estetis.
Potensi agenda wisata Nyalawean di Muara Sungai Cisadea tak jauh dari Pantai Apra, lanjut Dodo, sangat mungkin untuk dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur.
Baca Juga:Singkirkan Lima Desa Pesaingnya, Desa Sukamanah Cugenang Juara Lomba Desa Tingkat KabupatenBeri Motivasi Penggunaan Bahasa Inggris, SDN Ibu Dewi IV Hadirkan Siswi Sekolah Internasional
Pasalnya, Nyalawean hanya bisa dilakukan di tiga waktu, saat panen raya padi, pasca hujan deras di hulu, dan saat bulan puasa.
“Uniknya, Nyalawean harus dilakukan pada tanggal 25 pada tiga waktu tersebut. Kita belum mengetahui apa alasan pastinya, tapi yang terjadi seperti itu. Impun dari laut ke muara hanya ramai saat tertentu saja,” ungkap Dodo.
Bahkan, saat tanggal 25 tiap bulan puasa, warga sekitar ramai-ramai ke muara untuk menangkap impun dengan jaring khusus. Bilah bambu dibuat persegi empat, lalu dipasangi jaring halus di ujungnya.