IDI memang sangat solid –tidak pernah pecah.
Di zaman Orde Baru, semua organisasi dilarang pecah. Pemerintah selalu hanya mengakui satu organisasi –pun seandainya yang satu itu bukan yang benar. Itu sebagai cara pemerintah untuk mengooptasi ormas. Agar bisa dipakai –misalnya– untuk deklarasi kebulatan tekad.
Setelah reformasi, pemerintah tidak boleh bersikap seperti itu lagi: dianggap intervensi dalam proses demokrasi. Hak semua warga negara untuk berkumpul, berserikat, berbicara, dan bersuara. Sejak itu hampir semua organisasi punya kembarannya. Kecuali IDI. Ups, ada satu lagi: INI –Ikatan Notaris Indonesia. Tanpa rekomendasi INI –seorang notaris tidak bisa buka kantor notaris.
Setelah reformasi, banyak juga yang membuat organisasi profesi sejenis dengan maksud semata-mata untuk ”mata pencaharian” –sampai mengorbankan kode etik. Akibatnya: penegakan kode etik menjadi sangat sulit. Bahkan, ada yang tidak punya kode etik sama sekali: bagaimana bisa menamakan diri sebagai organisasi profesi tapi tidak punya kode etik.
Maka, belum tentu banyak organisasi bisa lebih baik.
Itu di profesi wartawan.
Di pengacara juga begitu.
Baca Juga:Ridwan Kamil: Inovasi Toilet Daur Ulang Jadi Solusi Kurangi Pencemaran Sungai CitarumRidwan Kamil Sambut Baik Kolaborasi Jabar-Banyuwangi-Gorontalo
Untunglah, masih ada organisasi profesi wartawan dan pengacara yang baik –yang peduli pada kualitas dan penegakan kode etik.
Di pengacara, masih ada organisasi pengacara yang mengharuskan calon anggotanya untuk menjalani tes. Biarpun ia sudah sarjana hukum. Lalu, ada keharusan magang. Paling tidak dua tahun: di kantor pengacara. Bukan magang biasa, tapi magang beracara di pengadilan.
Setelah itu, barulah organisasi –seperti Ikadin, Peradi, dan beberapa lagi– mengeluarkan kartu anggota.
Dengan mengantongi kartu anggota itu, mereka bisa mendaftar ke pengadilan tinggi setempat: untuk disumpah.
Tidak ada izin praktik. Yang ada pengucapan sumpah itu. Pengadilan tidak akan menerima pengacara yang belum pernah disumpah di pengadilan tinggi (tingkat provinsi).
Di IDI, keharusan rekomendasi itu, saya kira, untuk ”menjamin” dokter tersebut memenuhi kualifikasi sebagai dokter. Tapi, terutama, agar dokter mau mengikatkan diri pada kode etik. Lalu, mau untuk diawasi.
Kode etik –sesuai dengan namanya– bukanlah UU, peraturan, atau pasal-pasal dalam hukum. Kode etik adalah etika, sopan santun.