Ternyata di antara ekonom itu tidak ada yang melihat akan terjadi loncatan pertumbuhan. Tiongkok memang tumbuh 18 persen triwulan pertama tahun ini. Amerika tumbuh 6 persen. Itu karena mereka bisa mengandalkan ekonomi teknologi. Itu yang tidak terlihat di sini.
Sebenarnya saya sedikit berharap dari G-Nose dan Vaksin Nusantara. G-Nose bisa ekspor besar-besaran. Ternyata itu tidak terjadi. Perkembangan pemakaiannya di dalam negeri pun tidak gegap gempita. Di mana-mana masih dipakai cara antigen –termasuk yang dicuci ulang seperti yang digerebek polisi di Medan.
Demikian juga VakNus. Yang semula ditargetkan akhir Mei ini sudah dipakai secara umum. Lalu bisa diinternasionalisasikan.
Baca Juga:Pasca Longsor Ciloto Cianjur, Truk Besar Bakal Dilarang MelintasPastikan Perusahaan Bayar THR, Disnakertrans Cianjur Bentuk Tim Khusus
Harapan pertumbuhan ekonomi hanya pada satu saja: tumbuhnya kredit perbankan. Tapi apakah tumbuhnya kredit bank bisa diharapkan?
Ternyata kredit perbankan juga tidak mungkin diandalkan. Bank masih ragu akan hilangnya pandemi tahun ini. Apalagi terjadi kasus lonjakan baru Covid-19 di India.
Dalam istilah Misbakhun, bank kini lebih memilih mencari uang dengan cara membeli surat utang di BI. Bukan menyalurkan kredit ke masyarakat.
Misbakhun menghendaki ada koordinasi yang kuat antara Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS. “DPR kan sudah sangat fleksibel. Bisa menyetujui apa saja yang diinginkan pemerintah,” ujar Misbakhun.
Jelaslah kalau hanya bersandar pada mekanisme yang ada bank tidak akan tergerak lebih baik. Harus ada koordinasi ketat untuk membuat keputusan.
Yang Misbakhun agak masygul adalah: belum terlihatnya dampak baik dari UU Cipta Kerja. Yang awalnya dimaksudkan untuk mengatasi krisis ekonomi. Yang untuk mengegolkannya dilakukan dengan upaya all out. Sampai menerabas banyak pagar.
Tentu, yang juga ditunggu adalah ini: seberapa jauh langkah maju di SWF. Gunturnya sudah begitu menggelegar. Tapi hujannya tidak kunjung turun.(*)