Effendi tidak setuju ekspor benur lobster dilarang. Kecuali aturan bisa benar-benar ditegakkan. Masalahnya, kata Effendi, akibat larangan itu muncul penyelundupan. Besar-besaran. Ke Vietnam. Ia sampai ke negeri itu untuk membuktikannya. “Tanpa benur selundupan budidaya lobster di Vietnam tinggal 20 persennya,” ujar Effendi.
Ia juga ingin membantah argumen yang mengatakan lobster belum bisa dibudidayakan. Ia tunjukkan bukti-bukti ini: negara mana saja yang sudah melakukan budidaya lobster.
Maka, katanya di acara pelepasan gelar guru besarnya di Refly Harun YouTube Channel, lebih baik ekspor jangan dilarang. Hanya saja harus ada kewajiban bagi eksporter untuk melakukan budidaya lobster di dalam negeri. Harus dengan teknik budidaya dari Vietnam. “Dengan demikian ekspor kita ke Vietnam bisa dimanfaatkan untuk alih teknologi,” katanya.
Baca Juga:Gara-gara Main Petasan, Pom Mini MeledakPolisi Amankan 2 Kelompok yang Saling Baku Hantam di Terminal Pasir Hayam
Effendi merasa mendapat serangan balik dari para penyelundup benur lobster. Yang nilai bisnisnya triliunan rupiah per tahun.
Serangan itu sampai ke soal pribadi. Lewat isu-isu yang sengaja diciptakan. Misalnya: Effendi mendapat fasilitas ratusan ribu paket bantuan sosial dari pemerintah.
Isu itu memanfaatkan terbongkarnya kasus korupsi bansos oleh menteri sosial dan kelompoknya.
Serangan tersebut juga memanfaatkan terbongkarnya kasus korupsi benur oleh menteri perikanan dan kelautan dan jajarannya. Effendi di frame ada di pusaran itu.
Frame tersebut, kata Effendi, dibuat melalui karya jurnalisme. Nama Effendi sering disebut dalam berita. Sampai-sampai ia dipanggil ke KPK –meski hanya sebagai saksi.
Itu saja bagi Effendi sudah dianggap merusak reputasinya. Terutama sebagai pejuang demokrasi, pejuang anti korupsi, dan pejuang kebebasan pers.
Effendi begitu kecewa mengapa banyak wartawan bisa diajak berkomplot seperti itu. Ia kecewa sekali. Sampai ia kembalikan gelar profesornya ke negara.
Baca Juga:Perusahaan Terdampak Covid Wajib Membayar THR, Ini AlasannyaKadin Jabar: Tidak Memberi THR, Perusahaan Akan Didenda 5 Persen
Apa pun, Effendi Gazali telah bikin sejarah. Di zaman buzzer seperti ini, jurnalisme memang berada di lautan polutan. Jurnalisme profesional benar-benar di ambang kehancuran.
Itu bermula dari zaman reformasi. Yakni ketika siapa pun bisa bikin koran apa pun. Akibatnya wartawan dari ”koran serius” menjadi minoritas.
Di sebuah konferensi pers, wartawan sungguhan justru bisa merasa malu menjadi wartawan. Terutama saat melihat wartawan berebut amplop –sampai kantong baju panitianya robek.