Perbedaan lainnya, kata Prof Nidom, penumbuhan imunitas lewat pemberian konvalesen harus berulang. Itu karena titer yang bisa turun. “Tapi lewat dendritik tidak harus berulang,” ujar Prof Nidom. “Itu karena dendritik bisa menurunkannya pada progeni dendritiknya,” katanya.
Dari sinilah kelihatannya muncul istilah yang pernah ramai dibahas: Vaksin Nusantara itu untuk seumur hidup.
Berarti, ternyata, yang penting, ada cara selain vaksin untuk menumbuhkan imunitas. Bisa vaksin, bisa Konvalesen, bisa juga dendritik seperti yang dipakai oleh Vaksin Nusantara.
Baca Juga:Semua Calon Haji akan DivaksinWaspada Melintasi Jalur Cianjur-Puncak saat Hujan Deras, Ini Penjelasan BPBD
Maka, sebagai bukan ahlinya, saya hanya bisa bertanya: mengapa hanya cara vaksinasi yang diperbolehkan.
Terapi Plasma Konvalesen akhirnya memang diizinkan. Pun di Amerika. Dasar pemberian izin itu adalah bukti kenyataan.
Bukti kenyataan itu –dalam kasus Konvalesen– didapat melalui perjuangan dokter Monica. Tapi itu hanya bisa dilakukan lewat apa yang disebut perjuangan otonomi pasien.
Artinya, pasien punya otonomi untuk memilih: mau disembuhkan dengan cara apa. Untungnya banyak pasien Covid yang minta disembuhkan lewat terapi plasma Konvalesen. Dan ternyata terbukti: berkat TPK itu benar-benar muncul imunitas di tubuh pasien.
Apakah berarti Vaksin Nusantara juga harus menempuh jalur memutar yang sudah dilakukan terapi plasma Konvalesen?
Entahlah. Seandainya iya pun. Saya akan jadi relawan untuk mencari orang yang mau secara otonom menjalani ”terapi vaksin nusantara” –kata vaksin di situ sebagai merek, bukan sebagai vaksin.
Misalkan cara itu yang akan ditempuh. Lalu terbukti. Kian banyak yang mau menjalaninya. Lalu akhirnya diizinkan. Maka bangsa ini memang harus selalu lewat jalan memutar –dan karena itu sering kalah cepat. (*)