JAKARTA – Banyak orang terkejut manakala Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengundurkan diri dari pencalonan ketua umum Partai Golongan Karya (Golkar) pada saat-saat terakhir dimulainya Musyawarah Nasional (Munas) Golkar.
Bahkan, ada yang sampai merasa tidak mengerti mengapa hal itu terjadi. Tapi saya tidak. Saya tidak terkejut sama sekali. Saya tidak heran. Saya memahami sepenuhnya, dan saya malah melihat strategi yang ciamik (sangat baik) yang dikembangkan Bamsoet di balik pengunduran dirinya itu.
Pertama-tama, dengan tetap menunjukan hasrat untuk meraih ketua umum Golkar sebelum Munas dimulai, Bamsoet telah menciptakan diskursus, wacana dan debat yang terus menerus mengenai perhelatan pemilihan ketua umum Golkar.
Dengan cara itu, apa pun isinya, hampir setiap hari ada berita atau ulasan mengenai pelaksanaan Munas Golkar. Ini memberikan berbagai keuntungan buat Golkar.
Pemberitaan yang terus menerus ikhwal Golkar otomatis membuat Golkar mampu meraih publikasi yang dahsyat, dan ini dapat menjaga popularitas Golkar di antara berbagai pemberitaan ketatanegaraan lainnya.
Selanjutnya narasi yang dikembangkan Bamsoet dengan pencalonannya juga memberi dampak positif buat Golkar sendiri. Adanya pencalonan Bamsoet menciptakan “persepsi” kepada publik, Golkar merupakan partai yang demokratis. Golkar bukanlah partai yang dapat dan mudah diintervensi atau dikendalikan oleh seorang atau sekelompok kecil orang.
Pencalonan Bamsoet menjadi semacam simbol perlawanan bahwa di Golkar biasa terjadi pluralisme, heterogen dan kebebasan dalam melaksanakan hak konstitusional partai. Bamsoet ingin menunjukkan Golkar tidaklah seperti kebanyakan partai yang dapat “disetir” satu atau beberapa orang saja.
Dengan begitu, Bamsoet menunjukan Golkar merupakan partai yang demokratis. Tentu hal ini diharapkan bakal menaikan kredibilitas Golkar. Banyak pihak yang keliru dengan menuding dengan pengunduran dirinya, Bamsoet telah “menghianati” para loyalisnya.
Ini juga keliru. Bamsoet memiliki perhitungan yang lebih akurat. Pengunduran dirinya justeru terutama untuk melindungi para loyalisnya itu. Mengapa? Kalau Bamsoet tetap maju bertanding memperebutkan kursi ketua umum, berarti dia dihadapkan pada kemungkinan: meraih semuanya, atau justeru kehilangan semuanya.
Artinya, kalau Bamsoet tetap bertarung, kalau dia keluar sebagai pemenang, maka dia memang dapat mengendalikan total Golkar. Sebaliknya, kalau Bamsoet keok, maka dia kehilangan seluruhnya di Golkar. Kalau cuma jabatannnya sebagai ketua MPR saja yang dicopot, mungkin buat Bamsoet dia sudah ikhlas dan sudah sangat siap menerimanya.