CIANJUR – Lebih dari 20 tahun, Saepudin (40) warga Kampung Pasir Batu Desa Jati Kecamatan Bojongpicung Kabupaten Cianjur mengabdikan diri sebagai guru honorer. Namun kini dirinya hanya bisa terduduk lemah di atas kursi roda karena penyakit penyakit stroke dan gangguan pada mata yang dideritanya.
Tenaga pengajar di SDN Mekarjaya Kecamatan Bojongpicung itu mengaku pertama mengabdikan diri di dunia pendidikan pada 1994. Dia pun diberi kepercayaan untuk mengajar siswa kelas IV.
Namun tiga tahun kemudian, dia mulai mengalami gangguan pada penglihatannya. Bahkan lama kelamaan, pandangannya tak hanya kabur namun dirinya sempat tidak bisa melihat apapun.
“Saya sempat disuruh beristirahat di rumah, karena kondisi kesehatan. Apalagi kaitannya mata kurang bisa melihat,” kata dia, Kamis (28/11/2019).
Kian hari ternyata kesehatannya terus memburuk. Tidak hanya gangguan pada penglihatan, sejak tujuh tahun lalu dirinya mulai menunjukkan gejala stroke. Hingga pada akhirnya sekitar 2017, penyakitnya itu bertambah parah dan melumpuhkan beberapa anggota tubuhnya.
“Ini kaki sebelah kiri sudah tidak bisa digerakkan, kalau yang kanan masih bisa bergerak tapi tidak kuat kalau berdiri. Kalau tangan masih bisa tapi lemas,” ucapnya.
Kondisi itu membuatnya kini terpaksa berhenti untuk mengajar, mengingat sudah tidak ada lagi kemampuannya untuk berangkat ke sekolah ataupun menjelaskan berbagai mata pelajaran kepada muridnya.
Sebelumnya, dia masih memaksakan diri untuk mengajar meskipun diminta untuk beristirahat hingga sembuh total. Karena baginya, mendidik siswa menjadi suatu tugas mulia yang tidak ingin dia tinggalkan.
Baca Juga: Ribuan Guru Honorer Cianjur Ancam Mogok Mengajar
“Sebelum kena stroke parah begini, saya masih memaksakan datang ke sekolah. Menerangkan pelajaran ke siswa. Meskipun untuk mengisi raport atau memberi nilai, biasanya saya meminta bantuan kepada teman seprofesi di sekolah. Dengan imbalan, upah saya dibagi dua dengan dia,” kata dia.
Tak hanya masalah kesehatan, kondisi ekonomi dari ayah dua anak tersebut juga sama memprihatinkannya. Bagaimana tidak, pengabdiannya yang sudah lebih dari 20 tahun itu tak sebanding dengan pendapatannya setiap bulan.
Menurutnya, per bulannya dia hanya mendapatkan honor sebesar Rp100 ribu atau hanya dibayar Rp3 ribu per harinya. Bahkan ketika masih berumah tangga, sang istri pernah menyuruhnya untuk beralih profesi, mengingat pendapatan guru honorer lebih kecil dari buruh serabutan sekalipun.