“Peningkatan dispensasi kemungkinan ada, tapi tidak akan signifikan. Paling kalau tahun ini sudah 17, di akhir tahun dengan berlakukan aturan yang baru angkanya akan sama dengan tahun lalu di 33 perkara,” kata dia.
Menurutnya, peningkatan yang tidak signifikan dikarenakan kesadaran masyarakat untuk tidak menikahkan anak pada usia yang belum cukup sudah meningkat. Tetapi, memang perlu kembali dilakukan edukasi dan sosialisasi jika nantinya sudah disahkan regulasi yang baru.
“Peran dari pemerintah daerah nanti yang harus maksimal. Di samping juga perlu keterlibatan dari elemen masyarakat, sehingga angkanya tetap tidak banyak,” jelasnya
Di sisi lain, Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kabupaten Cianjur mencatat untuk pernikahan usia subur pada 2019 ini mencapai 545.179 pasangan. Dari angka tersebut 354.042 orang atau 77 persen pihak perempuan berada di usia di bawah 21 tahun.
“Itu mayoritas pasangan di usia produktif. Kalau yang usia anaknya hanya sebagian kecil. Tidak jauh berbeda dengan angka dari Pengadilan Agama yang mengajukan dispensasi nikah,” ucap Sekretaris DPPKBP3A Kabupaten Cianjur, Saepul Anwar.
Menurutnya, angka pernikahan usia produktif di 21 tahun ke bawah pun sudah mengalami penurunan. Pasalnya pada dara yang diperbarui setiap lima tahun tersebut menunjukan jika data terakhir pada 2015 lalu menunjukan pernikahan pasangan usia di bawah 21 tahun khusunya untuk pihak perempuan mencapai 80 persen dari total pasangan menikah sebanyak 429 ribu pasangan.
Dia menjelaskan, pihak dinas akan terus berusaha menekan angka pernikahan usia anak di Kabupaten Cianjur, diantaranya dengan program KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi), penyuluhan di sekolah, pembentukan PIKR/M (pusat informasi kesehatan remaja/mahasiswa). “Dengan program itu diharapkan pihak orangtua bisa sadar untuk tidak menikahkan anaknya yang masih berusia di bawah ketentuan,” ucapnya.
Di samping itu, dia juga mengaku mendukung adanya revisi pada UU Pernikahan terutama kaitan usia pernikahan. Pasalnya usia anak rentan jika mengalami kehamilan, sebab organ reproduksi masih belum siap, sehingga berisiko bagi ibu hamil ataupun bayinya.
“Dari segi emosi pun masih rentan, karena perlu kedewasaan dalam membangun rumah tangga. Banyak dampak yang dikhawatirkan terjadi jika pernikahan di usia anak. Kalaupun revisi Undang-undang tersebut nantinya disahkan, kami akan gencar melakukan sosialisasi kembali ke setiap daerah,” pungkasnya.(bay/red)