CIANJUR – Mahar dan suap bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan untuk SMP diduga membuat realisasi pembanguan ruang kelas baru (RKB) di sejumlah sekolah mangkrak. Bahkan, diduga juga terjadi permainan dalam pemberkasan dan pelaporan pembangunan.
Salah satunya terjadi di SMP 8 Naringgul. Pembangunan dua ruang kelas baru di sekolah itu sampai sekarang belum tuntas. Akibatnya, para siswa belum bisa menikmati fasilitas baru untuk mereka gunakan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM).
Ujang Rusmana (43), salah seorang komite sekolah, mengatakan, SMP 8 mendapatkan bantuan dari DAK Untuk bangunan 2 RKB dengan total anggaran sebesar Rp 230 juta. Kalau menurut informasi katanya dananya sudah turun semua untuk pengerjaan tahap 3, tapi uangnya belum diterima padahal pengerjaan tahap akhir.
“Dari total Rp 230 juta yang keterima hanya sebesar Rp 170 juta. Harus gimana lagi kan itu sudah aturan dari atasan. Untuk sementara saya pakai dana talang uang pribadi dulu. Saya juga bingung sementara alat-alat material pada naik, tapi dananya belum juga keterima,” ucapnya kepada wartawan, Minggu (16/12).
Dia menduga jika kondisi itu terjadi akibat adanya anggaran yang disunat oleh oknum-oknum yang terkait OTT Bupati Cianjur. Dia pun mengaku ikut perihatin dengan ditangkapnya bupati dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Cianjur. Apalagi kaitanya dengan dana bantuan DAK untuk pembangunan sekolah yang dengar dengar dipotong buat kepala dinas.
“Kalau memang benar kasusnya seperti itu, bukanya mencontohkan pendidikan yang lebih baik dan seharusnya mendorong dunia pendidikan supaya lebih maju, bukannya malah mencoreng citra di dunia pendidikan,” kata dia.
Presidium LSM Ampuh Cianjur, Yana Nurjaman, mengungkapkan, pembangunan ruang kelas yang mangkrak memang terjadi di sejumlah wilayah, terutama di Cianjur selatan. Hal itupun erat kaitannya dengan kasus OTT bupati dengan mahar proyek dan suapnya. Pasalnya, para kepala sekolah banyak yang lebih mengutamakan menyiapkan dana setoran dibandingkan mebereskan pembangunan.
“Kenyataan di lapangannya begitu, karena persentase fee jadi banyak yang mangkrak. Belum lagi ada pungutan lain bagi kepala sekolah, sehingga pembangunan banyak yang dikesampingkan,” kata dia.