“Saya lempar batu dalam bungkusan kain itu ke celah kecil dan berhasil. Warga yang lewat menyadari kalau saya dan rekan saya masih ada di bawah reruntuhan dan akhirnya kami diselamatkan,” ujarnya.
Kemalangannya tak berhenti disitu. Dia alami patah kaki kiri dan tak bisa berjalan pulang. Begitu juga dengan rekannya yang lain. Bahkan dia baru mengetahui jika satu dari empat rekannya meninggal dunia.
Beruntung, ternyata anak sulungnya pun mencari dirinya. Setelah bertemu anak, hatinya sedikit lega, seluruh anggota kelurganya selamat. Hanya saja rumahnya hancur karena lokasinya dekat dengan pusat titik gempa.
Baca Juga:BKKBN Dorong Kolaborasi Masyarakat Turunkan StuntingSurvei Elektabilitas 3 Capres 2024 Versi IPO: Prabowo 37,5%, Anies 32,7%, Ganjar 28,3%
“Dari lokasi saya ditemukan, anak berusaha membawa saya pulang dulu. Di situ lah saya berpisah dengan rekan. Saya pun dibonceng pulang dengan kondisi luka, sama seperti warga lain saat itu. Diperjalanan saya menangis kesakitan, kaki saya sudah ‘ngaplek’ karena patah, tersenggol-songgol oleh motor lain karena kondisi jalan sangat padat. Motor anak saya dengan motor warga lain sudah tak berjarak karena semua orang panik,” kata dia.
Sesampainya di Kampung Rawacina, dia tak lantas pulang. Pemerintah desa mengumpulkan semua warga yang terluka di lapangan, untuk dibawa ke rumah sakit, termasuk dirinya.
Kala itu, puluhan korban luka berat dikumpulkan di perempatan yang tak jauh dari SMP Negeri 5 Cianjur, Desa Nagrak untuk diangkut bersamaan ke RSUD Sayang.
“Badan saya sudah membiru, sudah tidak bertenaga. Saya pikir saat itu sudah dekat dengan ajal, sudah pasrah saja,” kata Ai.
Satu ambulance, kata dia, diisi empat sampai lima korban luka. Sesampainya di RSUD Sayang kurang lebih pukul 20.00 WIB, kondisinya sudah penuh sesak para korban terdampak gempa.
“Di sana banyak yang lebih parah lukanya dari pada saya. Akhirnya pihak rumah sakit menyarankan agar saya mengobati patah tulang kaki saya ke ahli patah tulang,” ujarnya.
Hampir Menyerah
Kurang lebih tiga bulan Ai luntang-lantung mencari tempat pengobatan tulang alternatif, hingga ke Sukabumi dan Garut. Dia hampir menyerah dan berpikir kalau dirinya tak akan bisa berjalan lagi.