Pandangan Islam Mengenai Satu Suro, Tradisi Keramat Jawa

Tradisi Satu Suro
Doc : Tradisi Satu Suro
0 Komentar

CIANJUREKSPRES – Kata Suro sendiri merupakan sebutan untuk bulan Muharram bagi masyarakat Jawa dan bertepatan dengan tahun baru islam.

Suro berasal dari Bahasa Arab yakni Asyura yang berarti sepuluh atau dimaknai sebagai hari ke-10 bulan Muharram.

Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, Malam Satu Suro atau terkenal juga dengan suroan, identik juga dengan suatu upacara yang lakukan secara berkumpul di dalam masjid.

Baca Juga:Mengenal Tradisi Satu Suro, Budaya yang Dianggap KeramatTradisi Orang Sunda Merayakan Tahun Baru Islam yang Meriah

Selain itu, Satu Suro juga termasuk salah satu hari yang sakral yang masih pertahankan hingga saat ini serta percaya melalui tradisi dan ritual yang pelaksanaannya di malam tersebut akan membawa keberkahan dan kebaikan bagi masyarakat.

BACA JUGA : Mengenal Tradisi Satu Suro, Budaya yang Dianggap Keramat

Kendati demikian, masyarakat Jawa banyak yang meyakini bahwa Malam Satu Suro ini termasuk adat kejawen di mana pada saat pelaksanaannya akan terdapat pertunjukan seni dan budaya hingga beberapa adat dan ritual yang berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Jawa.

Terlepas dari hal itu, banyak masyarakat yang mempercayai bahwa Malam Satu Suro ini merupakan malam yang angker dan mistis. Hal ini yang semakin membuat Satu Suro sangat sakral bagi masyarakat Jawa.

Pandangan Islam

Tradisi Malam 1 Suro dalam Perspektif Islam Perlu pahami, Malam Satu Suro ini pada dasarnya memang berpedoman pada nilai-nilai keagamaan umat Islam, sehingga dalam pelaksanaan tradisinya juga lengkap dengan norma hingga tujuan untuk mencari keberkahan.

Bagi masyarakat Islam di Jawa terkait tradisi Malam Satu Suro dalam perspektif Islam, kesakralan bulan Suro ini rupanya memiliki pengaruh terhadap adanya pantangan pada aspek pernikahan, hajatan atau lainnya agar tidak laksanakan di momen tersebut.

Akan tetapi, umat Islam di Jawa pada saat mulai mengenal tradisi Satu Suro, memiliki anggapan bahwa bulan Suro atau Muharram ini justru merupakan bulan yang paling agung dan mulia.

Pandangan tersebut yang pada akhirnya meluruskan pandangan tidak boleh adanya hajatan karena keagungan dan kemuliaan Bulan Suro agar mengisinya dengan kegiatan ibadah kepada sang pencipta.

Baca Juga:Inilah Tradisi Unik Sambut Tahun Baru Islam di IndonesiaHonda Luncurkan Motor Adventure CB 150 X yang Gagah dan Canggih!

Dalam kepercayaan masyarakat Jawa terutama umat Islam, golongan yang mampu atau kuat menyelenggarakan hajatan atau pernikahan di bulan itu hanya raja atau sultan yang pada akhirnya anggap juga sebagai bulan hajatan bagi keraton.

0 Komentar