Keduanya menunjukan kepada peraturan rumpaka (teks). Sedangkan teknik vokal keduanya menggunakan bahan-bahan olahan vokal Sunda. Namun pada akhirnya kedua teknik pembuatan rumpaka ini ada yang gabungkan. Lagu-lagu papantunan pun banyak yang buat dengan aturan pupuh.
Asal Mula Penciptaan Mamaos
Pada masa awal penciptaannya, tembang cianjuran merupakan revitalisasi dari seni Pantun. Kacapi dan teknik memainkannya masih jelas dari seni pantun. Begitu pula lagu-lagunya hampir semuanya dari sajian seni pantun. Rumpaka lagunya pun mengambil dari cerita pantun Mundinglaya Dikusumah.
Pada masa pemerintahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864‒1910) kesenian mamaos mulai menyebar ke daerah lain. Salah satu tokoh yang berjasa menyebarkannya adalah Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853‒1928).
Baca Juga:Filosopi Tiga Pilar Budaya Cianjur yang Penuh MaknaReview Livery Bussid Truck Canter Anti Gosip yang Memikat!
Tembang cianjuran berisi tentang nasihat kehidupan, mengajarkan bagaimana harus bertingkah laku dan saling menghormati antara sesama makhluk. Manusia harus bisa belajar menerima segala kekurangan dan perbedaan dari siapa pun yang temuinya sehingga hidup bisa saling melengkapi dan menghindarkan dari perpecahan.
Tembang cianjuran juga berupaya mengajak para pendengar untuk menghormati sejarah. Maksudnya adalah para leluhur yang telah menciptakan warisan seni maupun budaya sehingga bisa pakai hingga saat ini.
Di masa sekarang masyarakat sudah mulai jarang mementaskan kesenian olah vokal Sunda unik tersebut. Para pelakunya pun sangat sedikit dan mendominasi oleh generasi tua. Sementara generasi muda Cianjur disebut banyak yang tidak tahu seni mamaos.
Namun, kesenian ini masih manfaatkan sebagai alat silaturahmi bagi kalangan budayawan setempat. Saat ini mamaos juga telah bertransformasi menjadi seni hiburan, seperti pada acara hajatan perkawinan, khitanan, dan berbagai acara lainnya. Pada 2015, tembang cianjuran tetapkan Warisan Budaya Takbenda Indonesia.