Bus Tiga Botol

Beras Manja
0 Komentar

Lihatlah jalan-jalan raya di Surabaya: penuh dengan sepeda motor. Mereka lebih memilih naik sepeda motor daripada angkutan umum. Alasannya pun sungguh masuk akal.

Para perencana kota –tidak hanya di Surabaya– sudah harus memasukkan faktor sepeda motor dalam konsep tata angkutan kota. Sekarang, apalagi yang akan datang.

Jelas sekali bahwa masyarakat kelas bawah pun sekarang sudah pintar-pintar. Sudah pandai berhitung. Saya bangga sekali dengan hitungan itu: menguntungkan mana naik kendaraan umum atau naik sepeda motor.

Baca Juga:Ema Siti Huzaemah Ahmad Gantikan Sudiharjo dan Emri Kurniawan Gantikan Rudi HeryantoStok Darah di UDD PMI Cianjur Minim, Hanya Cukup 2 sampai 3 Hari

Kalau naik kendaraan umum satu bulan bisa habis Rp 300 ribu. Angka itu sudah bisa untuk membayar uang muka membeli sepeda motor cicilan. Tinggal tambah sedikit.

Tiga tahun kemudian sepeda motor itu sudah menjadi miliknya.

Bandingkan kalau ia naik kendaraan umum. Tiga tahun kemudian pun ia masih akan naik kendaraan umum. Belum punya aset kendaraan pribadi.

Biaya naik kendaraan umum per bulan itu –yang nilainya sama dengan cicilan sepeda motor– membuat orang pilih mencicil sepeda motor.

Itu belum menghitung fleksibilitas sepeda motor. Memiliki sepeda motor sama dengan memiliki fleksibilitas bergerak. Ia bisa point to point. Tidak perlu berjalan dari rumah ke halte bus. Lalu juga tidak perlu jalan kaki dari halte bus ke tempat tujuan akhir. Demikian pun sebaliknya.

Fleksibilitas lainnya: bisa untuk dua orang. Kadang bisa sekalian dengan satu anak. Pun dua anak.

Saat pulang kerja, sepeda motor itu masih bisa dipakai mobilisasi. Sedang kalau naik kendaraan umum, pulang kerja tidak bisa ke mana-mana. Zaman sekarang tidak punya kendaraan seperti mati kutu.

Pun di hari libur. Yang naik kendaraan umum tidak punya kendaraan untuk ke mana pun.

Baca Juga:Pertamina Pastikan Stok BBM dan LPG Aman di CianjurPendakian Gunung Gede Pangrango Dibuka Kembali, Jumlah Pendaki Dibatasi

Singkatnya, sepeda motor adalah angkutan yang sangat fleksibel dan terjangkau. Ia tidak hanya membeli aset tapi juga membeli fleksibilitas.

Karena itu pertambahan sepeda motor gila-gilaan: 8 juta setahun. Itu angka sebelum Covid-19. Perencana kota benar-benar harus memperhitungkan keberadaan sepeda motor yang kian dominan itu.

Tidak boleh ada kebijakan kota yang tidak memikirkan keberadaan sepeda motor. Ia bukan seperti becak di masa lalu: yang dianggap musuh pembangunan kota.

0 Komentar