“Berdasarkan temuan kami serta menindaklanjuti hasil investigasi, kami menuntut agar aparat penegak hukum membongkar temuan adanya indikasi atau dugaan penyimpangan dana bantuan program sembako ini,” tegasnya.
Presidium LSM Aliansi Masyarakat Penegak untuk Hukum (Ampuh) Kabupaten Cianjur, Yana Nurjaman, juga menemukan adanya dugaan monopoli dalam pelaksanaan penyaluran.
Berdasarkan data penerima program Sembako ini ada sebangak 158 ribu KPM di Kabupaten Cianjur yang disuplai beberapa supplier untuk di 32 kecamatan.
“Perlu diketahui bahwa adanya dugaan permainan harga ini karena KPM tidak menerima bahan pangan yang sesuatu dengan nilai bantuan. Kasus itu berbeda-beda di setiap kecamatan. Misalnya, ada yang menerima tiga item dan empat item bahan pangan setiap KPM,” tuturnya.
Yana memerinci adanya dugaan permainan harga. Beras yang diterima warga rata-rata berkualitas premium yang harganya diperkirakan Rp11.000 per kilogram x 9 kg menjadi Rp99.000, abon sapi Rp17.000, kacang hijau 1/4 Rp5.000, dan telur 6 butir senilai Rp12 ribu. Total belanja Rp133.000.
Sedangkan saldo KPM pada kartu senilai Rp150.000. Berarti ada sisa Rp17.000. Kenyataannya, saldo pada kartu tidak pernah ada sisa sedikitpun.
Berarti ada dugaan penyimpangan dana yang merugikan negara dari selisih harga senilai Rp17.000 dikalikan dengan jumlah penerima 128.000 KPM, berarti sebanyak Rp2.176.000.000 per bulan. Itu pun jika bahan pangan yang diterima oleh KPM sebanyak empat item. Tapi kondisi di lapangan ada suplaier yang hanya memberikan tiga item saja.
“Ada juga yang tidak memberikan telur. Bisa dibayangkan berapa besar kerugian negara setiap bulannya jika hanya tiga item saja. Ada juga kasus KPM yang menerima beras hanya seberat 8 kilogram saja. Kalikan saja dengan harga per kilogramnya Rp11.000. Berarti harga beras keseluruhannya senilai Rp88 ribu saja,” ungkap dia.
Menurut Yana, jumlah dugaan kerugian negara pada program sembako ini berbeda-beda di setiap kecamatan. Sebab, yang ia ketahui bahwa ada sekitar tujuh perusahaan atau suplaier yang memasok bahan pangan, dan berbeda pula wilayah-wilayahnya.
“Misalnya perusahaan A mendistribusikan barangnya di wilayah selatan. Perusahaan B, masok ke wilayah utara, dan perusahaan C masok ke wilayah timur. Jumlah item bahan pangan pun berbeda-beda. Itu sebabnya, dugaan kerugian negara juga berbeda setiap bulannya,” bebernya.