TERMA “KAFIR” DALAM NEGARA HUKUM

0 Komentar

SESAAT setelah diumumkannya rekomendasi Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Kota Banjar tentang status atau kedudukan non muslim dalam negara bangsa (nation state), banyak kalangan yang menolak rekomendasi tersebut. Setelah saya diskusi dan menyelami landasan argumentasi kelompok yang menolak rekomendasi tersebut ada beberapa rasionalisasi yang didasarkan pada tindakan a priori tanpa terlebih dahulu mempelajari lautan hujjah dan dalil yang telah dinarasikan dalam rekomendasi tersebut. Akibatnya simpulan yang dihasilkan berujung pada misleading atau tidaklah menyebutnya sebagai suatu kesalahan.
Saya menilai penerimaan informasi yang parsial dan distorsif merupakan salah satu penyebab tidak dipahaminya secara utuh substansi dari rekomendasi tersebut. Perlu ditegaskan bahwa rekomendasi komisi bahstul masail diniyyah al-maudhuiyyah (permasalahan kontemporer) itu sama sekali tidak ada intensi apalagi menegasikan otoritas Al-Quran yang telah jelas mengunakan terma “kafir” sebagai penyebutan bagi yang tidak beragama islam.
Forum ini menyepakati bahwa status non muslim dalam negara bangsa adalah warga negara (muwathin) yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan warga negara yang lain. Mereka tidak masuk dalam kriteria “kafir” sebagaimana disebutkan dalam fiqih siyasah (kafir muahad, kafir musta’man, kafir dzimmi, dan kafir harbi).
Rekontekstualisasi terma “kafir” dalam kehidupan bernegara (muamalah) ini diperlukan agar tidak ada lagi sekat primordialisme atas nama agama yang akhir-akhir ini muncul sebagai akibat dari menguatnya patron politik populisme dan mulai mengkarnya fundamentalisme keberagamaan di kalangan masyarakat.
Negara Hukum
Ada dua jenis negara hukum yang berkembang dalam ilmu hukum, pertama : negara hukum rechsstaat yang dipopulerkan oleh Julius Stahl. Kedua : negara hukum rule of law yang digagas oleh Albert Van Dicey pada tahun 1885 dalam buku berjudul Introduction to the Study of the Law of Constitution. Antara kedua jenis negara hukum tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Julis Stahl mengkonsepsikan empat elemen teori negara hukum rechsstaat : (1) Perlindungan Hak Asasi Manusia. (2) Pembagian Kekuasaan. (3) Pemerintah berdasarkan undang-undang. (4) Peradilan tata usaha negara (Jimly Asshiddiqie, 2008).
Sementara itu Albert Van Dicey menjelaskan karakteristik negara hukum rule of law, yaitu adanya : supremasi hukum (supremacy of law), Persamaan dihadapan hukum (equality before the law), dan Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on Human rights).

0 Komentar