Demikian pula Islam mengajarkan agar tidak menjadikan penampilan dan kondisi fisik sebagai ukuran untuk menilai seseorang. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada wajah dan bentuk tubuh kalian, akan tetapi Allah melihat qalbu (akal dan hati) dan perbuatan kalian.” Oleh karena itu, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas bukan saja bertentangan dengan konstitusi negara kita, tetapi juga bertentangan dengan ajaran agama.
Komitmen Negara
Dalam konteks melindungi, menghormati dan menjunjung tinggi hak para penyandang disabilitas, Komisi VIII DPR telah berhasil menggolkan UU Penyandang Disabilitas, yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis 18 Maret 2016 lalu. Undang undang ini menjadi pengganti UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Kelemahan UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat bisa disimpulkan dari; pertama, paradigma kebutuhan penyandang disabilitas. Dalam UU No. 4 Tahun 1997 para penyandang disabilitas ditempatkan sebagai pihak yang membutuhkan belas kasihan (charity based) sedangkan UU Penyandang Disabilitas memiliki paradigma memenuhi hak-hak penyandang disabilitas (right based), baik hak ekonomi, politik, sosial maupun budaya.
Kemudian, kelemahan kedua adalah UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat tidak sinkron dengan Undang Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). Karena Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini maka perlu dibuat undang-undang untuk melaksanakan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Berangkat dari hal-hal itulah, UU Penyandang Disabilitas disusun untuk memberikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar penyandang disabilitas secara penuh dan setara. UU Penyandang Disabilitas juga dibuat untuk memastikan agar penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas ini dapat dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Hal ini tercermin dalam hal pengaturan kewajiban bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMD untuk mempekerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 2% (dua persen) dari jumlah pegawai/pekerja dan perusahaan swasta paling sedikit 1% (satu persen) dari jumlah pegawai/pekerja.(*)