Adapun dari angka gini ratio Jawa Barat saat ini yaitu, 0,393 menjadi 0,407. Ini, sebut dia, apabila dilihat berdasarkan wilayah. Nilai koefisin gini atau gini ratio ternyata di wilayah pedesaan justru menunjukkan penurunan dari 0,326 menjadi 0,322. Sementara gini ratio di perkotaan justru meningkat yaitu, 0,399 menjadi 0,418.
Penyebab dari keadaan itu sebut dia, antara lain keberhasilannya DD (dana desa) yang mampu mengentaskan angka kemiskinan dan gini ratio di pedesaan, termasuk dengan program pemberdayaan bagi kelompok-kelompok masyarakat pedesaan dinilai mumpuni mengubah nilai gini ratio dan jumlah kemiskinan di pedesaan.
”Atau dengan kata lain, kenaikan gini ratio di perkotaan disebabkan oleh upah riil-nya yang lebih kecil dengan nilai daya belinya, apalagi ditambah dengan faktor beberapa harga komoditi yang banyak dikonsumsi penduduk di perkotaan ini melambung tinggi,” ujarnya.
Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Jawa Barat, R Gandari Adianti menambahkan, dari data gini ratio itu secara umum di Jabar pada 2018 masih aman atau masih tergolong sedang karena masih diangka 0, 0,407. Alasannya, salah satu ukuran ketimpangan (gini ratio) ini berkisar diantara 0 sampai 1. Meskipun pada periode sebelum-sebelumnya, yaitu 2015 (0,415) di 2017 0,403 dan sampai 2018 ini terus mengalami fluktuasi.
”Semakin tinggi nilai gini ratio-nya menunjukkan ketimpangan yang terjadi pun semakin tinggi,” tambahnya.
Sementara mengenai faktor komoditi makanan terhadap garis kemikinan masih jauh lebih besar dibandingkan dengan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan). Sumber garis kemiskinan makana atau GKM ini terhadap garis kemiskinan atau GK ini sebesar 71,49%. Secara total peranan komoditi makanan terhadap GK adalah sebesar 72,48%. Angka ini naik dibandingkan dengan keadaan september 2017 yaitu, sebesar 71,84%.
“Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat pada tingkat ekonomi rendah lebih didominasi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan makanan atau yang menjadi basic needs-nya, dibandingkan dengan kebutuhan bukan makanan. Sumbangan GKM terhadap GK sebesar 71,49% diperkotaan dan 75,25 di pedesaaan. Jadi secara total peranan komoditi makana terhadap GK sebear 72,48%,” katanya.
Pada maret 2018, lima komoditi makana penyumbang terbesar terhadap GK di perkotaan adalah beras (23,82%), rokok (12,38%), telur ayam ras (4,38%), daging ayam ras (4,07%), dan mie instan (2,93%). Sedangkan lima komoditi makanan penyumbang terbesar GK di pedesaan a.l. beras (31,70%), rokok (8,20%), telur ayam ras (3,76%), daging ayam ras (3,24%) serta kopi bubuk dan instan sekitar (3,01%).