CIANJUR,CIANJUR.JABAREKSPRES,.COM – Rencana Pemerintah Kabupaten Cianjur membangun kawasan peternakan di wilayah Desa Cidadap, Kecamatan Campaka menuai sorotan. Direktur Politic Social and Local Goverment Studies (Poslogis), Asep Toha menilai proyek tersebut merupakan contoh ambisi besar tanpa perencanaan matang yang berisiko mangkrak.
“Peternakan Campaka adalah contoh ambisi besar tanpa perencanaan matang. DPRD dan masyarakat harus kritis. Kritik ini bukan untuk melemahkan, tapi bentuk cinta pada Cianjur. Karena pembangunan sejati, harus berpihak pada rakyat, bukan pada panggung seremonial,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Rabu 24 September 2025.
Menurutnya, pembangunan kawasan peternakan yang menggunakan anggaran Rp2,8 miliar dari APBD Perubahan 2025 awalnya terdengar menjanjikan karena untuk ketahanan pangan, gizi ibu hamil hingga ekonomi lokal.
Baca Juga:Kejari Cianjur Jadi Narasumber Sosialisasi PTSL 2025Dinsos Cianjur Tegaskan Penerima Bansos Terindikasi Judol Terancam Dicoret
“Proyek ini menyiapkan 25 sapi perah dan 700 ayam buras. Dengan hitungan konservatif, total produksinya hanya 91 ribu liter susu dan 77 ribu telur per tahun,” kata Asep Toha berbicara kebutuhan pangan.
Dirinya pun membandingkan dengan kebutuhan Cianjur terkait dengan susu sebanyak 51,6 juta liter per tahun, dan telur 258 juta butir per tahun. Artinya, proyek kawasan peternakan tersebut hanya menyumbang 0,18 persen susu dan 0,03 persen telur. “Angka yang sangat kecil, jauh dari klaim ketahanan pangan,” ucap Asep Toha.
Terkait dengan anggaran pembangunan senilai Rp2,8 miliar. Menurutnya, dari jumlah tersebut hampir Rp1,9 miliar habis untuk bangunan kandang permanen. Sementara pengadaan ternak hanya Rp876 juta.
“Kalau targetnya produksi pangan, bukankah lebih masuk akal anggaran justru difokuskan ke ternak dan pakan, bukan beton dan tembok,” tutur Asep Toha.
Dia pun melihat ada kontradiksi tujuan pembangunan kawasan peternakan tersebut. “Bupati menyebut proyek ini pusat gizi dan ketahanan pangan. Kepala dinas bilang fokusnya hibah dan pelatihan. Tapi faktanya, kandang Rp1,9 miliar untuk hibah jelas tidak nyambung. Kalau untuk edukasi, terlalu mahal. Kalau untuk produksi, skalanya terlalu kecil. Jadi, tujuannya apa sebenarnya,” tegas Asep Toha.
Asep Toha pun mengingatkan terkait dengan risiko mangkrak. “Kita belajar dari daerah lain. RPH Bojonegoro Rp8 miliar mangkrak, Pasar Ternak Sumenep, Rp3,5 miliar sepi, Food Estate singkong di Kalteng, lahan luas, gagal panen, terbengkalai. Polanya sama, anggaran habis untuk infrastruktur, manajemen lemah, manfaat publik minim. Campaka berpotensi mengulangnya,” ungkapnya.