Luhut juga menyoroti pentingnya mengembangkan industri manufaktur panel surya domestik untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
PT PLN (Persero) sebagai perusahaan listrik negara berencana menjalin komunikasi dengan perusahaan-perusahaan manufaktur panel surya global untuk menarik investasi dan membangun pabrik di Indonesia, sejalan dengan upaya Pemerintah untuk meningkatkan penggunaan komponen lokal dalam proyek energi terbarukan.
Realisasi dan pengembangan energi terbarukan
Menurut data Kementerian ESDM, realisasi kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan Indonesia pada 2023 mencapai 13.155 MW atau 13,16 GW.
Baca Juga:IKN: Peluang Emas Investasi dan Pembangunan BerkelanjutanIndonesia dan Polandia Bergabung Kembangkan Industri Game
Kapasitas terbesar berasal dari tenaga air (PLTA) sebesar 6.784 MW, bioenergi 3.195 MW, dan panas bumi 2.417 MW. Sementara itu, potensi energi surya sangat besar, yaitu 3.300 GW, namun baru terealisasi sebesar 573 MW.
Adapun penambahan kapasitas PLTS pada 2023 mencapai 290,69 MW, yang terdiri dari PLTS ground mounted 30,09 MW, PLTS atap 68,06 MW, dan PLTS terapung 192,54 MW.
Untuk mendongkrak pemanfaatan energi surya, Pemerintah saat ini tengah memacu pengembangan PLTS sebagai salah satu solusi energi terbarukan.
PT PLN (Persero) baru-baru ini menandatangani perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBTL) dengan perusahaan pembangkit listrik asal Arab Saudi, ACWA Power, untuk pengembangan PLTS Terapung Saguling di Waduk Saguling, Jawa Barat, dengan kapasitas 60 MW, yang diharapkan mulai beroperasi pada 2025.
Proyek serupa juga akan dikerjakan di Danau Singkarak, Sumatera Barat dengan kapasitas 50 MW, dan Karangkates, Malang, Jawa Timur yang memiliki kapasitas 100 MW.
Indonesia memiliki potensi pengembangan PLTS terapung, yang dapat dibangun di atas danau dan bendungan di sekitar 325 lokasi di Indonesia. Mengutip data jumlah bendungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), PLTS terapung dapat dikembangkan di 259 lokasi bendungan dengan potensi kapasitas mencapai 14,7 GW.
Tantangan dan solusi
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyoroti tantangan pengembangan energi terbarukan, seperti PLTS yang sangat bergantung pada kondisi cuaca. Oleh karena itu, PLTS membutuhkan pembangkit konvensional sebagai cadangan daya saat malam hari, yang secara signifikan dapat meningkatkan biaya operasional.
Baca Juga:Astra Financial Targetkan Transaksi Rp400 Miliar di GIIAS Surabaya 2024Kemenko Perekonomian: Utang Pemerintah Tetap Terkendali
“Masalahnya bukan hanya emisi, melainkan juga biaya. Bayangkan saja, kalau kita punya PLTS 5 GW, kita juga butuh pembangkit lain sebesar 5 GW sebagai cadangan. Artinya, kita harus mengeluarkan biaya dua kali lipat untuk menghasilkan listrik yang sama,” katanya.