CIANJUREKSPRES – Tradisi malam satu suro adalah perayaan awal bulan Sura yang menjadi awal tahun baru dalam kalender Jawa.
Malam Satu Suro merupakan tradisi masyarakat Jawa bertepatan momen Tahun Baru Islam, 1 Muharam 1445 Hijriah.
Bertepatan momen Tahun baru Islam, tanggal Satu Suro jatuh pada hari Rabu, 19 Juli 2023.
Baca Juga:Tradisi Orang Sunda Merayakan Tahun Baru Islam yang MeriahInilah Tradisi Unik Sambut Tahun Baru Islam di Indonesia
Muhammad Solikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010), menuliskan sakralitas peringatan Malam 1 Suro tidak terlepas dari budaya keraton.
Dahulu, keraton sering melakukan upacara dan ritual yang kemudian diwariskan secara turun temurun.
Adapun Wahyana Giri dalam Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010) menjelaskan, Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta mengartikan Malam 1 Suro sebagai malam yang suci serta bulannya penuh rahmat.
BACA JUGA : Tradisi Orang Sunda Merayakan Tahun Baru Islam yang Meriah
Berikut penjelasan selengkapnya penjelasan tentang malam satu suro
Istilah
Dalam Kalender Jawa, malam Satu Suro 2022 bertepatan dengan 1 Muharam 1444 H.
Bulan Suro dalam Kalender Jawa dan Muharam dalam Kalender Hijriyah merupakan penanda awal tahun baru penanggalan.
Istilah Suro adalah penyebutan yang berasal dari ‘Asyura (bahasa Arab) yang berarti kesepuluh.
Baca Juga:Honda Luncurkan Motor Adventure CB 150 X yang Gagah dan Canggih!Unik! Inilah Beberapa Tradisi Tahun Baru Islam yang Seru
Tradisi ini memiliki nilai spiritual dan kebudayaan yang penting serta mengandung makna yang mendalam bagi masyarakat Jawa.
Bagi masyarakat yang mengikuti tradisi tersebut, shalawatan memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan.
Shalawat mampu memberikan kedamaian dan ketenangan dalam kehidupan mereka.
Dari perayaan tahlilan inilah muncul berbagai simbol-simbol tradisional malam Suro lainnya, seperti Jenang Suran (Panggul), Dupa, dan Tawasul.
Selain menjadi tradisi, malam Satu Suro sendiri masih menganggapnya keramat di tengah masyarakat Jawa.
Asal Usul
Pada zaman Mataram Islam di bawah Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645), penanggalan Muharram namai dengan Suro.
Sultan Agung berinisiatif mengubah sistem kalender Saka, yang merupakan perpaduan Jawa asli dan Hindu.
Kemudian, Sultan Agung memadupadankan kalender Saka dengan penanggalan Hijriyah.
Inisiatif ini sangat unik karena kalender Saka menggunakan penghitungan dengan pergerakan Matahari, sementara Hijriah menggunakan pergerakan Bulan.
Kalender Hijriah pada masa itu banyak gunakan oleh masyarakat pesisir untuk masyarakat pengaruh Islam yang kuat.