“Indonesia diproyeksikan mengalami puncak pertumbuhan penduduk produktif (bonus demografi) pada tahun 2045. Namun bonus demografi ini tidak akan berguna atau bahkan akan menjadi beban negara jika tingginya prevalensi balita stunting tidak diperbaiki saat ini,” ucapnya.
Uu juga berharap para kepala daerah untuk sama-sama menurunkan stunting antara lain dengan dukungan anggaran yang dibutuhkan.
Ia berpesan pula kepada seluruh masyarakat, khususnya yang punya anak harus benar-benar memperhatikan tumbuh kembangnya.
Baca Juga:Pusat Angkat Jempol Untuk DPMPTSP JabarMetaverse Pelayanan Publik Pertama di Indonesia
Kepala Bappeda Jabar, yang juga Ketua Harian TPPS Jabar, Sumasna mengatakan, ajang Jabar Stunting Summit terselenggara berkat kerja sama Pentahelix, dan dihadiri sekitar 1.000 peserta.
“Dengan Jabar Stunting Summit, kami berharap meningkatkan komitmen kolaborasi Pentahelix untuk pencapaian Jabar Zero New Stunting agar generasi penerus Jabar berkualitas, kompeten, dan berdaya saing,” kata Sumasna.
Tak dapat dipungkiri menurutnya, prevalensi kasus stunting di Jawa Barat masih relatif tinggi berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 sebesar 24,5 persen atau 2 dari 10 anak Jabar berisiko stunting.
Kasus stunting disebabkan kurangnya pemenuhan kebutuhan gizi, pola pengasuhan anak yang kurang baik, juga kurangnya akses air bersih dan sanitasi, sehingga berdampak pada gagal tumbuh kembang dan gangguan metabolisme pada anak.
Ketua Komisi V DPRD Jawa Barat Abdul Harris Bobihoe menuturkan, stunting tidak lahir sendiri, juga tidak muncul tanpa sebab.
“Setidaknya ada tiga faktor penyebab stunting, yakni mulai dari pendidikan, kemiskinan, hingga disparitas sosial,” kata Abdul Harris.
Selain itu, stunting juga dipengaruhi oleh ketahanan pangan keluarga, perawatan anak dan ibu hamil serta asupan gizi.
“Pernikahan dini di masyarakat juga dapat memicu stunting,” sebutnya.