“Itu juga bisa disebut nilai ibadah ghair mahdhah, berbeda dengan tarawih itu ibadah mahdhah yang harusnya penuh kekhusyukan, bukan kita tidak nasionlis dan menghargai. Tetapi saya sebagai umat muslim merasa kurang pas, (sekali lagi) takut ada ‘Ihanah’ terhadap ibadah mahdhah tersebut,” tuturnya.
Adapun Pak Uu menjelaskan, bahwa melantunkan nyanyi- nyanyian di masjid hukumnya mubah. Dengan kata lain bisa saja dilakukan sepanjang tidak menggunakan ‘alatu-lahwi’ atau alat musik yang dilarang dalam Islam.
Kemudian isi dari nyanyian tersebut puji- pujian terhadap Allah SWT, Solawat kepada nabi, dan membangkitkan ghairah keimanan dan ketakwaan serta ke- Islaman.
Baca Juga:Andalkan Jaringan Internasional, BNI Dukung Diaspora BerkembangBRI Berhasil Salurkan KUR Rp66,99 triliun Dalam Tiga Bulan
Pun begitu lagu Kebangsaan, bisa saja, namun untuk dinyanyikan sebelum melaksanakan ibadah salat, dirasa kurang cocok.
Ke depan, Pak Uu berharap ada tindakan dari tokoh agama setempat, guna mengingatkan jemaah agar tidak melakukan kegiatan diluar norma dan adab di masjid.
“Harapan kami ada tindakan dari tokoh agama dan ulama setempat memberikan pengertian dan pemahaman tentang agama, takut terulang,” katanya.
“Nah makanya saya berharap pemahaman tentang agama ini tidak sepotong- sepotong, tidak setengah- setengah, kami khawatir niatnya baik untuk meningkatkan nasionalisme dan kebersamaan tapi areanya tidak sesuai dengan norma agama. Justru ‘Ihanah’ semacam pelecehan terhadap ibadah rutinitas di bulan suci ramadhan ini,” kata Pak Uu.
Pak Uu yang juga Mukhtasar Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jabar, lanjut mendorong hadirnya rambu- rambu terkait kegiatan di masjid. Agar kedepan ada pedoman yang jelas kegiatan apa saja yang boleh dan dilarang dilakukan di masjid.
“Nah, harapan kami DMI harus memberikan rambu- rambu, mulai dari sekarang tentang hal yang melanggar etika disaat ibadah mahdhah,” pungkasnya.(rls/hyt)