Memang didalam penunjukan keikut sertaan pilkada partai politik biasanya melakukan fit and proper test diinternal partai sebelum mereka memberikannya kepada DPP (Dewan Perwakilan Pusat) yang berwenang memberikan rekomendasi bahwa mereka dapat mengikuti pemilu melalui partai yang bersangkutan.
Tetapi pemimpin sebelumnya juga memiliki andil yang cukup besar agar keluarganya bisa ikut serta dalam pemilu, dengan mendompleng nama pemimpin sebelumnya.
Fenomena ini adalah hal yang banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia ketika anak dari pemimpin sebelumnya boleh mengikuti pemilu kepala daerah, memang secara Undang Undang tidak ada yang dilanggar dalam praktik ini, tetapi menurut saya secara nilai demokratis hal ini sedikit mencederai karena terbatasnya ruang ketika masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam pencalonan kepala daerah.
Baca Juga:Bupati Cianjur Tegaskan Mulai Besok Sekolah Kembali Daring, Ini AlasannyaCianjur Masih Level 1, Ini Penerapan PPKM Berdasarkan Inmendagri Nomor 09/2022
Sempat pada tahun 2016 ada wacana bahwa anak atau kerabat dari Kepala Daerah dilarang mencalonan diri untuk maju dalam pilkada untuk meminimalisir terjadinya praktik dinasti politik, tetapi hal itu ditolak oleh Mahkama Konstitusi karena beranggapan membatasi hak asasi manusia dalam berpolitik.
Dengan digagalkannya peraturan tersebut pada akhirnya banyak dari kerabat kepala daerah ikut berpartisipasi dalam pencalonan kepala daerah, dengan embel embel menjual nama besar keluarga mereka melakukan kampanyenya dengan tim suksesnya untuk meyakinkan kepada masyarakat agar memberikan hak pilihnya kepada mereka.
Sebenarnya banyak factor yang membuat masih ditemukannya praktik dinasti politik disuatu daerah, masyarakat juga tidak bisa 100 % disalahkan dengan munculnya fenomena ini karena masih ada andil partai politik dalam penunjukan pencalonan kepala daerah, disini terlihat bahwa partai politik masih belum bisa menghilangkan budaya patron yang mengarah kepada dinasti politik, padahal diera demokrasi partai harus bersifat terbuka dalam memilih pemimpin dan stukturalnya dan bukan berasaskan kekeluargaan.
Maraknya budaya dinasti politik diberbagai daerah di Indonesia pada akhirnya memperlihatkan ketidak sehatan dalam berdemokrasi, karena terbatasnya ruang ruang gerak masyarakat dalam mengikuti pemilihan kepala daerah karena partai menganggap factor figure keluarga sangatlah berpengaruh dalam pemilihan kepala daerah dan pada akhirnya partai pun memilih jalur aman untuk memenangkan pilkada dengan cara memberikan rekomendasi kepada orang yang memiliki hubungan kerabat dengan pemimpin sebelumnya.