Dokter d’Lois

1000 Tahun
ilustrasi disway.(net)
0 Komentar

Papan nama itu sudah kusam –menandakan sudah lama ditinggalkan. Hurufnya masih bisa dibaca tapi ada yang sudah mulai kabur (Lihat foto).

Dulu, di sebelah tempat praktiknyi itu dibuka klinik kecantikan. Namanya d’Lois. Klinik itu juga pernah ada di jalan utama di kota itu.

Dokter Lois tamatan SMA Katolik Don Bosco, Tarakan. Lalu kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta. Angkatan lulus tahun 2009.

Baca Juga:Pemerintah Siapkan 300 Ribu Paket Obat Terapi Gratis Bagi Pasien OTG Covid-19IPM Cianjur Masih Terendah di Jawa Barat

Tugas pertamanyi sebagai dokter PTT: di pulau Sebatik, kecamatan paling utara di Kalimantan Utara. Pulau itu separonya wilayah Indonesia, separonya lagi Sabah, Malaysia Timur. Tiga tahun dr Lois di situ. Lalu pindah ke kota Tarakan, kota terbesar di Kaltara.

Ayah dr Lois sudah meninggal. Sang ayah adalah orang terkenal di kampungnya: Krayan. Itu sebuah kecamatan paling terpencil di provinsi Kalimantan Utara. Letaknya di perbatasan dengan Malaysia Timur. Tidak ada jalan darat menuju ke Krayan. Yang ada justru jalan darat dari Krayan ke Serawak. Separo wilayah Krayan memang berbatasan dengan Serawak. Separonya lagi berbatasan dengan Sabah.

Ayah dr Lois seorang mantri kesehatan di Krayan. Lalu dipindah ke dinas kesehatan di Tarakan. Sejak saya masih di Kaltim dulu, Krayan terkenal dengan produk berasnya –karena enaknya. Harus naik pesawat kecil untuk ke sana.

Berarti dr Lois termasuk warga suku Dayak Lundayeh. Yang umumnya memang hidup di Krayan dan sekitarnya. Termasuk banyak tinggal di pedalaman Serawak dan Sabah. Pun suku Dayak Lundayah ini sampai ada di Brunei.

Sebenarnya dr Lois tidak pernah dipecat dari IDI setempat. Dia hanya pergi dari Tarakan tanpa mengurus kepindahan keanggotaannyi. Dia juga tidak memperpanjang lagi izin praktik dokternyi. Dia lebih tepat disebut dicoret dari daftar karena tidak mengurus administrasinyi.

Saya kembali membayangkan sikap apa yang diambil oleh dr Lois di depan polisi. Sebagai penderita gangguan jiwa –dan karena itu tidak bisa dihukum? Atau sebagai ilmuwan sehat dengan segala risikonya?

“Rasanya beliau bahagia di sana,” ujar Babeh Aldo yang saya tanya kemarin petang. “Memang itulah rasanya yang beliau cari. Agar bisa mengungkapkan kebenaran yang beliau yakini,” katanya.

0 Komentar