Safari Harmoko

1000 Tahun
ilustrasi disway.(net)
0 Komentar

Akhirnya saya bertemu Pak Harmoko. Saya bilang dengan nada yang amat sangat sopan. Dengan dua tangan ngapurancang. Dengan mata menatap ke lantai.

“Pak Harmoko, semua koran sekarang ini kan sudah Golkar. Bagaimana kalau tetap ada satu koran yang nasionalis. Satu saja. Biar kesannya tetap baik. Saya janji akan menjaganya. Kami kan tahu batas,” kata saya.

Pak Harmoko diam sejenak. Lalu: ”Ya sudah, Dik Dahlan atur”.

Pak Harmoko sering menyebut diri sebagai orang pergerakan. Beliau bergerak terus. Jadi pemimpin terus. Beliau menjadi ketua PWI Jakarta. Lalu, ketika PWI Pusat pecah –ada kubu Ketua Umum BM Diah dan kubu Ketua Umum Rosihan Anwar– Pak Harmoko yang kemudian tampil sebagai pemenang. Dua tokoh pers itu saling mengklaim sebagai ketua umum yang sah. Pak Harmoko yang menjadi ketua umum tunggal berikutnya.

Baca Juga:Polres Cianjur Bentuk Timsus Cegah Penimbunan Tabung OksigenPT CSP Segera Layangkan Sanggahan

Beliau teguh. Termasuk menghadapi penilaian negatif pada dirinya. Misalnya ketika beliau mendirikan koran Pos Kota. Koran jenis baru di Indonesia saat itu. Kecaman datang bertubi-tubi. Setengah melecehkan. Kok bikin koran kuning seperti itu.

Tapi Pak Harmoko teguh. Di seluruh dunia koran seperti itulah yang oplahnya paling besar. Dan beliau benar. Pos Kota menjadi koran terbesar di Jakarta –secara oplah. Iklan mininya berhalaman-halaman. Menjadi kaya. Bikin percetakan modern. Bikin koran-koran lainnya lagi. Termasuk harian Surya di Surabaya –yang kemudian diambil alih grup Kompas.

Jenis korannya itulah yang membuat Pak Harmoko kurang dikesankan sebagai wartawan intelektual.

Tapi beliau itu memang sangat kaya ide. Dan selalu mengerjakan idenya itu. Beliau seperti kipas angin –berputar terus. Banyak yang mengatakan beliau itu tidak punya pusar –istilah Jawa untuk menggambarkan orang yang tidak pernah istirahat.

Banyak sekali langkah beliau sebagai menteri penerangan. Istilah ”sambung rasa” sangat terkenal. Ada pula ”kelompencapir”: kelompok pendengar (radio), pembaca (koran), dan pemirsa (TV). Ada juga koran masuk desa. TV masuk desa. Dan yang abadi adalah: Safari Ramadan.

Beliau juga sangat cinta budaya Jawa. Beliau bisa mendalang wayang kulit. Bisa menulis geguritan – -puisi berbahasa Jawa.

0 Komentar