CIANJUR – Kelahiran anak merupakan hal biasa. Tapi, membayar persalinan dengan uang logam bisa dibilang cukup langka.
Pasangan suami istri di Cianjur Riska (27), dan Yanto Kuswanto (30), warga Kampung Mekarsari RT 05/RW 02, Desa Rahong, Kecamatan Cilaku membayar biaya kelahiran putra pertama mereka dengan pecahan uang koin Rp1.000. Uang tersebut hasil menabung dari celengan selama sembilan bulan.
Riska mengatakan, suaminya bekerja sebagai pelayan toko di kawasan kota Cianjur. Sebulan gajinya Rp 900 ribu atau hanya Rp 30 ribu per hari. Sisa untuk biaya kebutuhan sehari-hari disimpan untuk ditabung.
Lantaran tidak memiliki uang untuk biaya persalinan, suaminya memutuskan memecahkan celengan kesayangannya. Lalu dimasukkan ke dalam kresek untuk biaya lahiran. “Jumlahnya sekitar Rp 500 ribu, langsung dimasukkan ke dalam kresek dan dibawa ke Puskesmas,” ujar Riska, Kamis (16/1/2020).
Riska mengatakan, total biaya persalinannya Rp 1,4 juta. Namun pihak puskesmas memberi keringanan biaya bagi keluarganya. “Uang koin dikembalikan lagi, bahkan saya diberi santunan Rp 200 ribu sama kepala puskesmas,” ujarnya.
Mereka tinggal di rumah sederhana. Satu rumah dibagi tiga, ruangan untuk ibunya dipakai warung, Riska dan suaminya dan satu ruangan lagi untuk adiknya. Rmah dengan panjang 10 meter tersebut, masing-masing menempati 3 meter.
Dulu, kata Riska, rumahnya panggung dan mau roboh. Sempat akan dibantuan perbaikan rumah tidak layak huni, namun tak kunjung terealisasi. “Akhirnya daripada roboh kami pinjam ke bang emok, total pinjaman kami Rp 27 juta untuk membangun rumah yang kami bagi tiga meter untuk adik dan ibu ini,” katanya.
Keluarga ini harus berjibaku membayar angsuran ke bang emok. Selain per dua hari, mereka juga harus membayar setiap dua minggu sekali. “Kami meminjam kepada tiga bang emok, ada yang harus dibayar setiap Senin dan Kamis, lalu ada yang per dua minggu, kalau ditotal perbulan kami harus bayar cicilan Rp 1,8 juta,” kata Riska.
Riska mengungkapkan, penghasilan suaminya dengan kewajiban angsuran memang tidak sebanding. Tapi lantaran kebutuhan, mereka terpaksa berhutang dengan cicilan Rp 1,8 juta perbulan. “Ibu saya yang sudah renta terpaksa membuka warung untuk mencari penghasilan tambahan,” kata dia.