Juga mereka yang hanya makan satu atau dua kali dalam sehari, tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas atau poliklinik serta sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah sebagai petani penggarap, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan.
“Atau misalnya penghasilan sebulan itu kurang dari sejuta, atau Rp500 ribu per bulan. Ditambah berapa anak di dalam rumah tangga tersebut. Kemudian dilihat dari pendidikan tertingginya, yang tidak memenuhi sembilan tahun belajar. Serta tidak memiliki kendaraan atau tabungan jenis apapun,” paparnya.
Terlepas data riil yang dihimpun, pihaknya menyarankan agar data akurat didapat dari beberapa survei yang dilakukan oleh dinas-dinas terkait.
“Karena datanya pasti simpang siur kalau dibandingkan dengan dinas terkait lainnya, seperti Dinsos (Dinas Sosial), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Maka hal ini harus dijadikan satu sistem acuan bersama,” imbasnya.
Akan tetapi, menurutnya, indikasi penduduk miskin itu cenderung menurun saat ini. Karena pemerintah pun sudah gencar membuat program bantuan untuk masyarakat yang tidak mampu.
Ia berharap, jelang hasil survei yang dilakukan petugas dengan mitra bantuan akan menunjukkan penurunan angka kemiskinan sesuai dengan jumlah penduduk dari sensus penduduk yang akan dilakukan.
“Ya mudah-mudahan angka yang belum terpadu dengan dinas terkait ini menunjukkan bahwa kemungkinan penurunannya lebih besar. Kita hanya menyajikan data yang diperoleh dari petugas BPS saja. Adapun hasil survei selanjutnya, mudah-mudahan tiap tahun itu presentasenya menurun. Saya kira karena pemerintah juga sudah gencar melaksanakan program bantuan,” tandas Eman.(rid/hyt)